Kamis, 17 Oktober 2013

Sokrates dan Dialog




 

Sokrates

Pencari Kebenaran Sejati



            Sokrates adalah seorang filsuf yang memulai munculnya filsafat Barat yang sistematis. Memang akhirnya Platonlah yang secara persis memulainya, tetapi Sokrateslah yang mempengaruhi Platon.[1] Hal itu tidak lepas dari kepribadian dan caranya dalam berfilsafat. Dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang riwayat singkat, metode Sokrates dan akan sedikit diberikan tanggapan kritis terutama atas metode Sokrates. Akan tetapi sebelum pemaparan bagian-bagian itu akan dipaparkan terlebih dahulu tentang bagaimana membahas Sokrates historis agar pembahasan mengenai Sokrates paling tidak bisa untuk dipertanggungjawabkan.



Problem Doktrin “Sokrates Historis”

            Sokrates adalah filsuf yang tidak meninggalkan tulisan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: dari manakah ajaran-ajarannya dapat dimengerti? Pengertian tentang hidup dan pikirannya terutama didapat dari Platon, Xenophon, dan Aristoteles. Meskipun demikian hal ini membawa kesulitan yang tidak kecil karena ketiga penulis memberikan gambaran tentang Sokrates secara berbeda menurut pendapat masing-masing.[2]

Terkait dengan hal itu sampai saat ini pun para ahli belum memiliki pendapat yang padu mengenai Sokrates. Berhadapan dengan hal ini nampaknya tidak ada gunanya membahas lagi problem “Sokrates historis” ini. Namun, karena dalam rangka membahas Sokrates, mau tidak mau harus memakai salah satu metode pembahasan yang sudah dikerjakan sejak jamannya Schleiermacher[3], dengan mencoba menghindari titik lemah yang sudah ditunjukkan oleh para ahli. Schleiermacher menunjukkan salah satu titik lemah tulisan dari Xenophon. Menurutnya, karena Xenophon bukan seorang filsuf, ia tidak berada dalam posisi yang tepat untuk merangkumkan dengan setia pemikiran filosofis Sokrates. Maka, cara membicarakan Sokrates akan sedikit membiarkan potret-potret yang ada (dari Aristophanes, Palton, Xenophon dan Aristoteles) sambil mencoba sebisa mungkin mencari titik-titik yang sama yang bisa dipersilangkan di antara mereka.[4]

           

Sekilas Riwayat Hidup Sokrates

Sokrates lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Dia adalah filsuf pertama yang dilahirkan di Athena dan selama hidupnya tinggal di kota itu. Meskipun dia tumbuh di sebuah kota yang mengalami sebuah masa keemasan, sumber-sumber kuno setuju bahwa asal-usulnya secara garis keturunan tidaklah gemerlap. Ayahnya adalah seorang pemahat patung, sedangkan ibunya adalah seorang bidan.[5] Ayahnya bernama Sophroniskos dan ibunya Phainarete[6].

Sokrates dikenal sebagai orang yang pandai menguasai diri, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsunya dengan merugikan kepentingan umum. Ia juga orang yang cerdik, sehingga tak pernah khilaf dalam menimbang yang buruk dan baik.[7] Hal itulah yang membuat Sokrates tetap nampak agung, meskipun roman mukanya tidak menarik: hidungnya pesek melebar, matanya melolot keluar, bibir bawahnya tebal, perutnya buncit dan besar[8].

Masa hidup Sokrates hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Atena. Pada hari tuanya Sokrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang-gemilang.[9] Athena abad ke-5 mengalami “disintegrasi”: pondasi religius dan moral tradisional lama kelamaan tidak “cukup” lagi bagi masyarakat yang sedang berubah (karena kekayaan pasca perang, dan karena masuknya kaum Sofis yang berminat dengan kekayaan yang berlimpah serta kebutuhan baru yang muncul di Athena). Masyarakat Athena memiliki perhatian utama pada cara meraih “kesuksesan hidup”, sehingga mereka membutuhkan guru. Para guru inilah yang kemudian disebut sebagai kaum Sofis. Mereka mengajarkan bagaimana bisa memenangkan kasus-kasus dan bagaimana bersikap dalam hidup supaya sukses. Titik perhatian kaum Sofis hanyalah bagaimana meraih “a successful civilized human life”. Untuk itu mereka tidak percaya kepada “standar” apapun (entah itu unchanging reality, religion or morality). Pengaruh kaum Sofis ini akan mendorong lebih cepat terjadinya “disintegrasi”.[10] Terhadap keadaan itu Sokrates merasa termotivasi untuk berfilsafat dengan caranya sendiri. Cara berfilsafatnya adalah filsafat yang diamalkan dengan cara hidupnya. Dengan itulah dia mencoba ingin mempebaiki masyarakat yang sudah mengalami kemunduran. Selain itu ia merasa bahwa mempraktikan filsafat adalah misi yang ia terima dari “Allah”[11].

Dalam rangka untuk melaksanakan misinya itu Sokrates tidak mengasingkan diri dari pergaulan dengan warga negara yang lain. Sepanjang hari ia berada di jalan-jalan, di pasar dan terutama dalam gymnasia (tempat-tempat olahraga). Ia melakukan percakapan dengan semua orang termasuk para kaum sofis.[12] Dalam percakapan itu ia selalu berkata bahwa yang diketahuinya hanya satu yaitu bahwa ia tidak tahu. Oleh karena itu ia selalu bertanya. Menurutnya tanya jawab adalah cara yang tepat untuk memperoleh pengetahuan. Inilah yang disebut dengan dialektika. Seringkali dalam percakapan dengan para sofis itu ia berhasil membuat malu para kaum sofis.[13]

Sokrates terlalu banyak bertanya kepada siapa pun tanpa rasa takut apa pun. Akhrinya, ia dianggap membuat banyak orang ragu-ragu. Ia dilihat membahayakan polis. Oleh karena itu rejim Demokrasi Athena akhirnya akan menghukumnya mati karena dianggap “mengkorupsi anak-anak muda” (dan juga dianggap atheis serta berupaya memasukkan “keillahian baru” di Athena).[14] Dia dipenjara dan meninggal dengan cara meminum racun.



Metode Sokrates

            Sokrates adalah seseorang yang mampu menjadi magnet yang dahsyat bagi orang-orang di sekitarnya. Ia berhasil membuat minat anak-anak muda kaya keturunan aristrokrat yang berambisi mencari kesuksesan datang dan berguru padanya. Salah satu alasannya adalah karena dia menghidupi etika yang rigor: ia senantiasa berusaha mengisi hidupnya dengan cara urip ing pepadhang (hidup secara terang, selalu jelas dengan dirinya sendiri). Dan ia membangun kemanusiaannya sebagai anak cahaya tidak secara autis, melainkan dalam pencarian bersama orang lain. Dalam perjumpaan dan dialog inilah hidup baru yang benderang bercahaya dilahirkan oleh “yang lain” (dan ini wajar karena tak seorangpun bisa melahirkan dirinya sendiri).[15]

Tujuan filosofis Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat para kaum sofis yang mengatakan bahwa semuanya relatif dan subyektif. Sokrates berpendapat bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari.[16]

Menurut Sokrates perbuatan manusia selamanya dipimpin oleh pengertian. Asalkan ada pengertian yang betul-betul, manusia tentu akan berbuat baik. Mengerti yang baik dan berbuat yang baik itu baginya adalah sama. Baginya tidak ada seorang pun yang dengan sengaja melakukan kejahatan. Barangsiapa mengerti yang baik, tentulah baik; kebajikan tidak dapat dibedakan dari pengertian.[17]

Jika kebajikan berupa pengertian, maka dari itu haruslah disimpulkan bahwa supaya menjadi baik, susila manusia harus mulai dengan keyakinan bahwa dia tidak mempunyai pengertian. Keyakinan inilah yang harus ditanam. Menurut Sokrates caranya adalah dengan menggunakan percakapan atau dialogos. Cara mengajar ini kelak disebut metode Sokrates. Sokrates menjalankan metode ini di mana-mana dan dengan siapa saja. Dalam percakapan itu Sokrates menggunakan cara yang disebut eironeia, artinya “pura-pura tidak mengerti”. Karena “tidak mengerti” ia terus bertanya. Dengan demikian, pihak lain makin lama makin merasakan bahwa pengertiannya itu kurang dan akhirnya ia mengakui bahwa belum mengerti.[18]

Dalam melakukan percakapan Sokrates selalu memulai dengan menganggap jawaban pertama sebagai suatu hipotesa dan dengan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut ia menarik segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena membawa konsekuensi-konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain. Kemudian hipotesis kedua ini diselidiki dengan pertanyaan-pertanyaan lain dari pihak Sokrates dan seterusnya begitu. Dalam dialog-dialog yang dikarang Platon dalam masa mudanya sering terjadi bahwa percakapan berakhir tanpa hasil yang definitif. Tetapi dalam dialog-dialog yang dikarang Platon pada usia yang lebih matang tidak jarang terjadi bahwa percakapan menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna.[19]

Sokrates sendiri menamakan metodenya maieutika, artinya “teknik kebidanan”. Menurutnya jiwa manusia itu mengandung kebenaran yang harus dilahirkan. Maka, dengan menggunakan “teknik kebidanan”, Sokrates menolong jiwa dalam “bersalin” intelektual.[20]

Aristoteles mengatakan bahwa di dalam metode Sokrates terdapat dua hal yang penting, yaitu “induksi” dan “definisi umum”. Aristoteles memandang metode Sokrates dari sudut logika, yang baru pada Aristoteles sendiri mendapat corak sistematisnya.[21] Aristoteles menggunakan istilah “induksi” untuk mengacu ke proses pemikiran yang bertolak dari pengetahuan hal-hal yang khusus menuju ke pengetahuan yang umum. Sokrates selalu bertitik tolak dari contoh-contoh konkret melalui percakapannya dengan banyak orang, dengan berbagai pendapat yang berbeda. “Induksi” ini kemudian menghasilkan “definisi umum”. Suatu definisi pada dasarnya berusaha menentukan hakikat dari suatu hal. Dalam metode Sokrates diandaikan bahwa keutamaan-keutamaan seperti keadilan, keberanian dan lain sebagainya mempunyai suatu hakikat yang tetap. Maka, jelas terlihat bahwa Sokrates berbeda sekali dengan para kaum Sofis yang menganut relativisme.[22]



Tanggapan Kritis tentang Sokrates dan Metodenya

Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya saya berpendapat bahwa metode Sokrates lahir dari prinsip yang ia pegang teguh, yaitu bahwa kebenaran itu tetap (berlaku selamanya) dan harus dicari. Kebenaran itu bisa didapat dari pengertian. Oleh karena perbuatan manusia selamanya dipimpin oleh pengertian, untuk dapat berbuat baik orang harus mendapatkan pengertian tentang kebenaran itu. Dalam percakapanlah (dialogos) pengertian itu lahir. Artinya proses lahirnya pengertian itu ditempuh dalam pencarian bersama denga orang lain. Akhirnya, metode Sokrates ini mengarah pada perbaikan moral manusia.

Berdasarkan metode Sokrates ini dapat dihasilkan berbagai karakter manusia, yaitu manusia yang bermoral dan berprinsip, manusia yang keingintahuannya tinggi, manusia yang mampu menjadi sahabat bagi sesamanya karena bisa saling membantu untuk melahirkan kebenaran, manusia yang mampu berpikir rasional dan objektif, manusia yang mampu berdialog secara sehat, dan manusia yang realistis karena selalu berangkat dari kenyataan. Selain itu bisa juga muncul ekstrem lain yaitu dihasilkannya manusia yang skeptis, tidak mudah percaya pada orang lain, dan keras kepala.





Daftar Pustaka

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Driyarkara, N. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. penyunting: A. Sudiarja, dkk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tinta Mas Indonesia,1980.

Setyo Wibowo, A. Mari Berbincang Bersama Platon. Jakarta: iPublishing, 2011.

Setyo Wibowo, A. “Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”. tanggal 30 September 2013.

Rakhmat, Ioanes. Sokrates dalam Tetralogi Plato; Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Miller, James. The Philosophical Life. Oxford: Oneworld, 2011.




[1] Agustinus Setyo Wibowo, “Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”, tanggal 30 September 2013. Hal 1.
[2] N. Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, penyunting: A. Sudiarja, dkk., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 1136.
[3] Schleiermacher (“Ueber den Werth des Sokrates als Philosophen”, 1818) adalah seorang ahli yang mengkritisi cara umum representasi untuk Sokrates waktu itu yang didasarkan pada tulisan Xenophon (Memorabilia). Pendapatnya itu kemudian mempengaruhi munculnya pertanyaan kritis di kalangan para ahli tentang hidup dan pemikiran Sokrates historis. Beberapa generasi peneliti Sokrates mengikuti jejak Schleiermacher, dan mulai sibuk meneliti dan mencari “Sokrates historis”. Banyak artikel muncul mengkritisi tulisan-tulisan Xenophon, sedemikian rupa sehingga Memorabilia tidak lagi bisa dipercaya. Dan pelan-pelan, semakin diyakini bahwa “Sokrates historis” ditemukan terutama dalam tulisan-tulisan Platon. (Bdk: Agustinus Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, (Jakarta: iPublishing, 2011), hlm. 4-5.).
[4] Agustinus Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, hlm. 3-7.
[5] James Miller, The Philosophical Life, (Oxford: Oneworld, 2011), hlm. 14.
[6] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius,1999), hlm. 99.
[7] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tinta Mas Indonesia, 1980), hlm. 75.
[8] Agustinus Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, hlm. 8.
[9] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, hlm.73.
[10] Agustinus Setyo Wibowo, “Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”, hlm. 2-4.
[11] Ioanes Rakhmat, Sokrates dalam Tetralogi Plato; Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2009), hlm. 19-20.
[12] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 102.
[13] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, hlm. 75.
[14] Agustinus Setyo Wibowo, “Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”, hlm. 12.
[15] Agustinus Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, hlm. 8-10.
[16] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, hlm. 81.
[17] N. Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, hlm. 1138.
[18] N. Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, hlm. 1138-1139.
[19] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm.105.
[20] N. Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, hlm. 1139.
[21] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 106.
[22] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar