|
Sokrates
Pencari
Kebenaran Sejati
Sokrates adalah seorang filsuf yang memulai
munculnya filsafat Barat yang sistematis. Memang akhirnya Platonlah yang secara
persis memulainya, tetapi Sokrateslah yang mempengaruhi Platon.[1]
Hal itu tidak lepas dari kepribadian dan caranya dalam berfilsafat. Dalam
tulisan ini akan dipaparkan tentang riwayat singkat, metode Sokrates dan akan
sedikit diberikan tanggapan kritis terutama atas metode Sokrates. Akan tetapi
sebelum pemaparan bagian-bagian itu akan dipaparkan terlebih dahulu tentang
bagaimana membahas Sokrates historis agar pembahasan mengenai Sokrates paling
tidak bisa untuk dipertanggungjawabkan.
Problem Doktrin “Sokrates Historis”
Sokrates adalah filsuf yang tidak
meninggalkan tulisan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: dari manakah ajaran-ajarannya
dapat dimengerti? Pengertian tentang hidup dan pikirannya terutama didapat dari
Platon, Xenophon, dan Aristoteles. Meskipun demikian hal ini membawa kesulitan
yang tidak kecil karena ketiga penulis memberikan gambaran tentang Sokrates
secara berbeda menurut pendapat masing-masing.[2]
Terkait dengan hal itu sampai saat ini pun para ahli belum memiliki
pendapat yang padu mengenai Sokrates. Berhadapan dengan hal ini nampaknya tidak
ada gunanya membahas lagi problem “Sokrates historis” ini. Namun, karena dalam
rangka membahas Sokrates, mau tidak mau harus memakai salah satu metode
pembahasan yang sudah dikerjakan sejak jamannya Schleiermacher[3],
dengan mencoba menghindari titik lemah yang sudah ditunjukkan oleh para ahli. Schleiermacher
menunjukkan salah satu titik lemah tulisan dari Xenophon. Menurutnya, karena
Xenophon bukan seorang filsuf, ia tidak berada dalam posisi yang tepat untuk
merangkumkan dengan setia pemikiran filosofis Sokrates. Maka, cara membicarakan
Sokrates akan sedikit membiarkan potret-potret yang ada (dari Aristophanes,
Palton, Xenophon dan Aristoteles) sambil mencoba sebisa mungkin mencari
titik-titik yang sama yang bisa dipersilangkan di antara mereka.[4]
Sekilas
Riwayat Hidup Sokrates
Sokrates lahir di
Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Dia adalah filsuf
pertama yang dilahirkan di Athena dan selama hidupnya tinggal di kota itu. Meskipun
dia tumbuh di sebuah kota yang mengalami sebuah masa keemasan, sumber-sumber kuno
setuju bahwa asal-usulnya secara garis keturunan tidaklah gemerlap. Ayahnya adalah
seorang pemahat patung, sedangkan ibunya adalah seorang bidan.[5]
Ayahnya bernama Sophroniskos dan ibunya Phainarete[6].
Sokrates dikenal
sebagai orang yang pandai menguasai diri, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa
nafsunya dengan merugikan kepentingan umum. Ia juga orang yang cerdik, sehingga tak pernah khilaf dalam menimbang
yang buruk dan baik.[7]
Hal itulah yang membuat Sokrates tetap nampak agung, meskipun roman mukanya
tidak menarik: hidungnya pesek melebar, matanya melolot keluar, bibir bawahnya
tebal, perutnya buncit dan besar[8].
Masa hidup Sokrates hampir sejalan
dengan perkembangan sofisme di Atena. Pada hari tuanya Sokrates melihat kota
tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang
gilang-gemilang.[9] Athena abad ke-5 mengalami “disintegrasi”: pondasi religius dan moral
tradisional lama kelamaan tidak “cukup” lagi bagi masyarakat yang sedang
berubah (karena kekayaan pasca perang, dan karena masuknya kaum Sofis yang
berminat dengan kekayaan yang berlimpah serta kebutuhan baru yang muncul di
Athena). Masyarakat Athena memiliki perhatian utama pada cara meraih
“kesuksesan hidup”, sehingga mereka membutuhkan guru. Para guru inilah yang
kemudian disebut sebagai kaum Sofis. Mereka mengajarkan bagaimana bisa
memenangkan kasus-kasus dan bagaimana bersikap dalam hidup supaya sukses. Titik
perhatian kaum Sofis hanyalah bagaimana meraih “a successful civilized human life”. Untuk itu mereka tidak percaya
kepada “standar” apapun (entah itu unchanging
reality, religion or morality). Pengaruh kaum Sofis ini akan mendorong
lebih cepat terjadinya “disintegrasi”.[10]
Terhadap keadaan itu Sokrates merasa termotivasi untuk berfilsafat dengan
caranya sendiri. Cara berfilsafatnya adalah filsafat yang diamalkan dengan cara
hidupnya. Dengan itulah dia mencoba ingin mempebaiki masyarakat yang sudah
mengalami kemunduran. Selain itu ia merasa bahwa mempraktikan filsafat adalah
misi yang ia terima dari “Allah”[11].
Dalam rangka untuk melaksanakan misinya itu Sokrates tidak mengasingkan
diri dari pergaulan dengan warga negara yang lain. Sepanjang hari ia berada di
jalan-jalan, di pasar dan terutama dalam gymnasia
(tempat-tempat olahraga). Ia melakukan percakapan dengan semua orang
termasuk para kaum sofis.[12]
Dalam percakapan itu ia selalu berkata bahwa yang diketahuinya hanya satu yaitu
bahwa ia tidak tahu. Oleh karena itu ia selalu bertanya. Menurutnya tanya jawab
adalah cara yang tepat untuk memperoleh pengetahuan. Inilah yang disebut dengan
dialektika. Seringkali dalam percakapan dengan para sofis itu ia berhasil membuat
malu para kaum sofis.[13]
Sokrates terlalu banyak bertanya kepada siapa pun tanpa rasa takut apa
pun. Akhrinya, ia dianggap membuat banyak orang ragu-ragu. Ia dilihat
membahayakan polis. Oleh karena itu rejim Demokrasi Athena akhirnya akan
menghukumnya mati karena dianggap “mengkorupsi anak-anak muda” (dan juga
dianggap atheis serta berupaya memasukkan “keillahian baru” di Athena).[14]
Dia dipenjara dan meninggal dengan cara meminum racun.
Metode Sokrates
Sokrates adalah seseorang yang mampu
menjadi magnet yang dahsyat bagi orang-orang di sekitarnya. Ia berhasil membuat
minat anak-anak muda kaya keturunan aristrokrat yang berambisi mencari
kesuksesan datang dan berguru padanya. Salah satu alasannya adalah karena dia
menghidupi etika yang rigor: ia
senantiasa berusaha mengisi hidupnya dengan cara urip ing pepadhang (hidup secara terang, selalu jelas dengan
dirinya sendiri). Dan ia membangun kemanusiaannya sebagai anak cahaya tidak
secara autis, melainkan dalam pencarian bersama orang lain. Dalam perjumpaan
dan dialog inilah hidup baru yang benderang bercahaya dilahirkan oleh “yang
lain” (dan ini wajar karena tak seorangpun bisa melahirkan dirinya sendiri).[15]
Tujuan filosofis Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk
selama-lamanya. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat para kaum sofis yang mengatakan
bahwa semuanya relatif dan subyektif. Sokrates berpendapat bahwa kebenaran itu
tetap dan harus dicari.[16]
Menurut Sokrates perbuatan manusia selamanya dipimpin oleh pengertian. Asalkan
ada pengertian yang betul-betul, manusia tentu akan berbuat baik. Mengerti yang
baik dan berbuat yang baik itu baginya adalah sama. Baginya tidak ada seorang
pun yang dengan sengaja melakukan kejahatan. Barangsiapa mengerti yang baik,
tentulah baik; kebajikan tidak dapat dibedakan dari pengertian.[17]
Jika kebajikan berupa pengertian, maka dari itu haruslah disimpulkan
bahwa supaya menjadi baik, susila manusia harus mulai dengan keyakinan bahwa
dia tidak mempunyai pengertian. Keyakinan inilah yang harus ditanam. Menurut
Sokrates caranya adalah dengan menggunakan percakapan atau dialogos. Cara mengajar ini kelak disebut metode Sokrates. Sokrates
menjalankan metode ini di mana-mana dan dengan siapa saja. Dalam percakapan itu
Sokrates menggunakan cara yang disebut eironeia,
artinya “pura-pura tidak mengerti”. Karena “tidak mengerti” ia terus bertanya.
Dengan demikian, pihak lain makin lama makin merasakan bahwa pengertiannya itu
kurang dan akhirnya ia mengakui bahwa belum mengerti.[18]
Dalam melakukan percakapan Sokrates selalu memulai dengan menganggap
jawaban pertama sebagai suatu hipotesa dan dengan pertanyaan-pertanyaan lebih
lanjut ia menarik segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban
tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena
membawa konsekuensi-konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti
dengan hipotesis lain. Kemudian hipotesis kedua ini diselidiki dengan
pertanyaan-pertanyaan lain dari pihak Sokrates dan seterusnya begitu. Dalam
dialog-dialog yang dikarang Platon dalam masa mudanya sering terjadi bahwa
percakapan berakhir tanpa hasil yang definitif. Tetapi dalam dialog-dialog yang
dikarang Platon pada usia yang lebih matang tidak jarang terjadi bahwa
percakapan menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna.[19]
Sokrates sendiri menamakan metodenya maieutika,
artinya “teknik kebidanan”. Menurutnya jiwa manusia itu mengandung kebenaran
yang harus dilahirkan. Maka, dengan menggunakan “teknik kebidanan”, Sokrates
menolong jiwa dalam “bersalin” intelektual.[20]
Aristoteles mengatakan bahwa di dalam metode Sokrates terdapat dua hal
yang penting, yaitu “induksi” dan “definisi umum”. Aristoteles memandang metode
Sokrates dari sudut logika, yang baru pada Aristoteles sendiri mendapat corak
sistematisnya.[21] Aristoteles
menggunakan istilah “induksi” untuk mengacu ke proses pemikiran yang bertolak
dari pengetahuan hal-hal yang khusus menuju ke pengetahuan yang umum. Sokrates
selalu bertitik tolak dari contoh-contoh konkret melalui percakapannya dengan
banyak orang, dengan berbagai pendapat yang berbeda. “Induksi” ini kemudian
menghasilkan “definisi umum”. Suatu definisi pada dasarnya berusaha menentukan
hakikat dari suatu hal. Dalam metode Sokrates diandaikan bahwa
keutamaan-keutamaan seperti keadilan, keberanian dan lain sebagainya mempunyai
suatu hakikat yang tetap. Maka, jelas terlihat bahwa Sokrates berbeda sekali
dengan para kaum Sofis yang menganut relativisme.[22]
Tanggapan Kritis tentang Sokrates dan Metodenya
Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya saya berpendapat bahwa
metode Sokrates lahir dari prinsip yang ia pegang teguh, yaitu bahwa kebenaran
itu tetap (berlaku selamanya) dan harus dicari. Kebenaran itu bisa didapat dari
pengertian. Oleh karena perbuatan manusia selamanya dipimpin oleh pengertian,
untuk dapat berbuat baik orang harus mendapatkan pengertian tentang kebenaran
itu. Dalam percakapanlah (dialogos) pengertian
itu lahir. Artinya proses lahirnya pengertian itu ditempuh dalam pencarian
bersama denga orang lain. Akhirnya, metode Sokrates ini mengarah pada perbaikan
moral manusia.
Berdasarkan metode Sokrates ini dapat dihasilkan berbagai karakter manusia,
yaitu manusia yang bermoral dan berprinsip, manusia yang keingintahuannya
tinggi, manusia yang mampu menjadi sahabat bagi sesamanya karena bisa saling
membantu untuk melahirkan kebenaran, manusia yang mampu berpikir rasional dan
objektif, manusia yang mampu berdialog secara sehat, dan manusia yang realistis
karena selalu berangkat dari kenyataan. Selain itu bisa juga muncul ekstrem
lain yaitu dihasilkannya manusia yang skeptis, tidak mudah percaya pada orang
lain, dan keras kepala.
Daftar Pustaka
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Driyarkara,
N. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir
yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. penyunting: A. Sudiarja, dkk. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006.
Hatta, Mohammad. Alam
Pikiran Yunani. Jakarta: Tinta Mas Indonesia,1980.
Setyo Wibowo, A. Mari Berbincang Bersama Platon. Jakarta: iPublishing, 2011.
Setyo Wibowo, A. “Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”.
tanggal 30 September 2013.
Rakhmat,
Ioanes. Sokrates dalam Tetralogi Plato;
Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Miller, James. The Philosophical Life. Oxford: Oneworld, 2011.
[1] Agustinus Setyo Wibowo, “Diktat
Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”, tanggal 30 September 2013. Hal 1.
[2] N. Driyarkara, Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, penyunting: A. Sudiarja, dkk., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006), hlm. 1136.
[3] Schleiermacher (“Ueber
den Werth des Sokrates als Philosophen”, 1818) adalah seorang ahli yang
mengkritisi cara umum representasi untuk Sokrates waktu itu yang didasarkan
pada tulisan Xenophon (Memorabilia).
Pendapatnya itu kemudian mempengaruhi munculnya pertanyaan kritis di kalangan
para ahli tentang hidup dan pemikiran Sokrates historis. Beberapa generasi
peneliti Sokrates mengikuti jejak Schleiermacher, dan mulai sibuk meneliti dan
mencari “Sokrates historis”. Banyak artikel muncul mengkritisi tulisan-tulisan
Xenophon, sedemikian rupa sehingga Memorabilia
tidak lagi bisa dipercaya. Dan pelan-pelan, semakin diyakini bahwa “Sokrates
historis” ditemukan terutama dalam tulisan-tulisan Platon. (Bdk: Agustinus Setyo
Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon,
(Jakarta: iPublishing, 2011), hlm. 4-5.).
[4] Agustinus Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, hlm. 3-7.
[5] James Miller, The Philosophical Life, (Oxford:
Oneworld, 2011), hlm. 14.
[6] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta:
Kanisius,1999), hlm. 99.
[7] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tinta Mas
Indonesia, 1980), hlm. 75.
[8] Agustinus Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, hlm. 8.
[9] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, hlm.73.
[10] Agustinus Setyo Wibowo, “Diktat
Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”, hlm. 2-4.
[11] Ioanes Rakhmat, Sokrates dalam Tetralogi Plato; Sebuah
Pengantar dan Terjemahan Teks, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2009), hlm.
19-20.
[12] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 102.
[13] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, hlm. 75.
[14] Agustinus Setyo Wibowo, “Diktat
Kuliah Sejarah Filsafat Yunani: Sokrates”, hlm. 12.
[15] Agustinus Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, hlm. 8-10.
[16] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, hlm. 81.
[17] N. Driyarkara, Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, hlm. 1138.
[18] N. Driyarkara, Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, hlm. 1138-1139.
[19] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm.105.
[20] N. Driyarkara, Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, hlm. 1139.
[21] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 106.
[22] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar