Perjumpaan Kreatif
Tulisan ini dibagi
ke dalam dua bagian besar. Pertama tentang pengertian perjumpaan kreatif
menurut buku “Daya Hening Upaya Juang”. Kedua tentang contoh konkret yang
terjadi di luar konteks Nusa Tenggara seperti yang ada dalam buku “Daya Hening
Upaya Juang”.
1. Pengertian perjumpaan kreatif menurut buku “Daya Hening Upaya Juang”
Perjumpaan kreatif antara agama-agama
metakosmik dengan agama-agama lokal biasanya terjadi ketika muncul masalah
sosial yang mendesak seperti misalnya persoalan menyangkut air, hak tanah,
sekolah, pengangguran dan kriminalitas. Masyarakat lokal yang terdiri dari
agama kosmik dan metakosmik melalui kelompok-kelompok basis akan melakukan
refleksi sistematis untuk menanggapi masalah sosial itu. Inilah tahap pertama.
Setelah melakukan refleksi iman itu tahap selanjutnya adalah refleksi antar
iman di mana semua agama berembug bersama, menyampaikan komitmen iman yang
berbeda satu sama lain dan saling menghormati keunikan masing-masing. Dalam
konteks intern agama Kristiani pada tahap inilah terjadi perjumpaan antara
realitas asli (agama asli) dengan nilai biblis yang saling melengkapi guna
menghadapi permasalahan sosial yang terjadi.
2.
Contoh
konkret[1]
Di lereng gunung Merapi terdapat sebuah
paroki (Gereja Katolik) yang berhasil melakukan perjumpaan kreatif antara unsur
Kekatolikan dan kultur lokal Merapi. Paroki itu adalah Paroki Sumber yang
terletak di dekat Muntilan. Perjumpaan kreatif ini terjadi ketika terdapat
persoalan sosial terkait dengan perusakan alam di sekitar Merapi di mana
kawasan hutan semakin berkurang karena penambangan pasir dengan alat-alat berat
yang secara ekonomi merugikan masyarakat sekitar dan secara akologis merusak
alam.
Dengan dipelopori oleh pastor paroki yaitu Rm. Kirjito umat
Katolik berhasil mendapatkan kesadaran akan pentingnya alam Merapi, berani
melakukan perlawanan massal terhadap penambangan pasir dan kembali ke
kepercayaan lokal tanpa mengingkari iman Kekatolikan mereka. Bukan hanya umat
Katolik yang akhirnya tergerak, tetapi juga masyarakat sekitar. Bentuk nyata
dari proses ini berupa memasukannya unsur lokal seperti tari-tarian yang
mengandung banyak simbol magis ke dalam liturgi, pembaptisan di sungai sekitar
Merapi dan misa di alam terbuka. Dalam tari-tarian itu misalnya tarian para
buto, menggambarkan kemarahan sekaligus tangisan mereka sebagai anak-anak Nyai Gadhung Melati (dipercaya
sebagai penjaga kelestarian G. Merapi) karena alam Merapi dirusak. Melalui
tari-tarian ini sebenarnya mereka ingin pulang kembali pada kekuatan mereka
yang paling purba dan asli yaitu kekuatan Gunung Merapi yang bila marah bisa
menyemburkan larva panasnya. Kirab budaya-seni serta perayaan liturgi yang
inkulturatif ini seakan menjadi bentuk protes masyarakat lokal terhadap
perusakan alam yang terjadi di sekitar lereng Merapi.
[1] Bagian ini
disadur dan disusun ulang dari internet. Sumber: “25 th imamat Rm. Kirjito; Berbaurnya Agama Dan Kultur”.
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=7528&start=0&postdays=0&postorder=asc&highlight=
(Diunduh pada tanggal 12 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar