Kamis, 17 Oktober 2013

Perjumpaan Kreatif Antara Agama Kosmos dan Metakosmos




Perjumpaan Kreatif
Tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian besar. Pertama tentang pengertian perjumpaan kreatif menurut buku “Daya Hening Upaya Juang”. Kedua tentang contoh konkret yang terjadi di luar konteks Nusa Tenggara seperti yang ada dalam buku “Daya Hening Upaya Juang”.
1.       Pengertian perjumpaan kreatif menurut buku “Daya Hening Upaya Juang”
Perjumpaan kreatif antara agama-agama metakosmik dengan agama-agama lokal biasanya terjadi ketika muncul masalah sosial yang mendesak seperti misalnya persoalan menyangkut air, hak tanah, sekolah, pengangguran dan kriminalitas. Masyarakat lokal yang terdiri dari agama kosmik dan metakosmik melalui kelompok-kelompok basis akan melakukan refleksi sistematis untuk menanggapi masalah sosial itu. Inilah tahap pertama. Setelah melakukan refleksi iman itu tahap selanjutnya adalah refleksi antar iman di mana semua agama berembug bersama, menyampaikan komitmen iman yang berbeda satu sama lain dan saling menghormati keunikan masing-masing. Dalam konteks intern agama Kristiani pada tahap inilah terjadi perjumpaan antara realitas asli (agama asli) dengan nilai biblis yang saling melengkapi guna menghadapi permasalahan sosial yang terjadi.

2.      Contoh konkret[1]
Di lereng gunung Merapi terdapat sebuah paroki (Gereja Katolik) yang berhasil melakukan perjumpaan kreatif antara unsur Kekatolikan dan kultur lokal Merapi. Paroki itu adalah Paroki Sumber yang terletak di dekat Muntilan. Perjumpaan kreatif ini terjadi ketika terdapat persoalan sosial terkait dengan perusakan alam di sekitar Merapi di mana kawasan hutan semakin berkurang karena penambangan pasir dengan alat-alat berat yang secara ekonomi merugikan masyarakat sekitar dan secara akologis merusak alam.
Dengan dipelopori oleh pastor paroki yaitu Rm. Kirjito umat Katolik berhasil mendapatkan kesadaran akan pentingnya alam Merapi, berani melakukan perlawanan massal terhadap penambangan pasir dan kembali ke kepercayaan lokal tanpa mengingkari iman Kekatolikan mereka. Bukan hanya umat Katolik yang akhirnya tergerak, tetapi juga masyarakat sekitar. Bentuk nyata dari proses ini berupa memasukannya unsur lokal seperti tari-tarian yang mengandung banyak simbol magis ke dalam liturgi, pembaptisan di sungai sekitar Merapi dan misa di alam terbuka. Dalam tari-tarian itu misalnya tarian para buto, menggambarkan kemarahan sekaligus tangisan mereka sebagai anak-anak Nyai Gadhung Melati (dipercaya sebagai penjaga kelestarian G. Merapi) karena alam Merapi dirusak. Melalui tari-tarian ini sebenarnya mereka ingin pulang kembali pada kekuatan mereka yang paling purba dan asli yaitu kekuatan Gunung Merapi yang bila marah bisa menyemburkan larva panasnya. Kirab budaya-seni serta perayaan liturgi yang inkulturatif ini seakan menjadi bentuk protes masyarakat lokal terhadap perusakan alam yang terjadi di sekitar lereng Merapi.



[1] Bagian ini disadur dan disusun ulang dari internet. Sumber:  25 th imamat Rm. Kirjito; Berbaurnya Agama Dan Kultur”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar