Reformasi Gregorian
A.
Pengantar
Reformasi Gregorian adalah bagian dari sejarah
Gereja yang terjadi pada abad sebelas. Reformasi ini adalah bagian dari usaha
Gereja pada waktu itu untuk memperbaiki kemerosotan yang terjadi di dalam tubuh
Gereja. Dalam tulisan ini akan dipaparkan terlebih dahulu situasi Gereja yang
metalarbelakangi munculnya reformasi Gregorian. Sebelum reformasi Gregorian
muncul sebelumnya sudah muncul reformasi yang dilakukan di biara Cluny. Kemudian
akan dipaparkan munculnya reformasi Gregorian yang memuncak pada masa kepemimpinan
Paus Gregorius VII yang namanya digunakan sebagai nama reformasi ini. Pada masa
kepemimpinan paus ini akan nampak adanya konflik Gereja dengan kekaisaran
terutama dengan Henry IV. Pada bagian akhir akan dipaparkan kesimpulan dan
penutup dari tulisan ini.
B.
Situasi Gereja Yang Melatarbelakangi
B.1.
Kemerosotan Gereja Barat
Munculnya reformasi Gregorian tidak bisa lepas
dari kenyataan bahwa Gereja Barat pada waktu itu (1040-an) mengalami
kemorosotan terutama dalam kepemimpinan Gereja. Takhta kepausan lumpuh akibat
korupsi yang merajalela di dalam Gereja. Kontrol terhadap tindakan
penyelewengan yang melanda Gereja di seluruh Eropa tidak ada. Otoritas
kepemimpinan Gereja dengan demikian melemah. Hal ini membuat sebagian besar
kekuasaan dalam tubuh Gereja diambil alih oleh pra penguasa sekular.[1]
Situasi korup dan lemahnya otoritas
kepemimpinan Gereja itu terjadi ketika para uskup dan abbas (pemimpin biara)
berada di bawah otoritas raja dan kaisar. Para uskup dan abbas itu mengucapkan
sumpah setia kepada para penguasa itu. Para penguasa itu terdorong oleh ambisi
menguasai kekayaan dan tanah gereja yang begitu luas. Maka, hal ini menimbulkan
munculnya gerakan-gerakan reformasi. Salah satu gerakan reformasi monastik yang
penting di abad pertengahan ini terjadi di biara Cluny.
B.2. Munculnya
Reformasi di Biara Cluny
Biara ini didirikan di Burgundy pada tahun
908-910. Pendiri biara ini adalah pangeran (Duke)
William dari Aquitaine. Dia sadar bahwa pda abad ke-9 telah terjadi kegagalan
untuk melindungi kemerdekaan biara dari para penguasa duniawi dan spiritual. Dia
menjamin kebebasan Cluny entah secara internal maupun eksternal. Semangat biara
ditandai oleh ketaatan penuh kepada peraturan Benedictin, tindakan askese,
keataatan mutlak pada abbas dan menaruh perhatian khusus pada ibadat liturgis. Selama
tahun 909 sampai dengan 1156 Cluny tumbuh sebagai usaha religius terkuat di
dalam Gereja.[2]
Banyak rahib reformis yang menjadi
pengikut kepemimpinan Cluny. Mereka berpedoman bahwa paus adalah satu-satunya
pelindung Gereja. Namun, sayangnya mereka tidak cukup kuat untuk mempengaruhi
yang lain agar kembali kepada pola hidup menggereja yang benar.[3]
C. Munculnya Reformasi Gregorian
Reformasi ini dimulai
dari jaman Paus Leo IX (1049-1054). Dia mengelilingi Italia, Perancis, dan
Jerman untuk menghentikan penyelewengan dalam tubuh Gereja dan mengakhiri
campur tangan penguasa sekular. Para pengganti Leo IX, khususnya Paus Stefanus
X (r. 1057-1058), Nicholas II (r.1058-1061), dan Aleksander III (r.1061-1073),
merancang sebuah agenda reformasi yang ambisius bagi Gereja. Tujuan mereka yang
utama adalah ingin mengakhiri jual beli jabatan Gereja; para uskup dan abbas
tidak lagi dipilih dan diangkat oleh penguasa sekuler, melainkan oleh pastor
dan biarawan; dan para pastor tidak lagi berada di bawah hukum pengadilan
sekular sehingga para penguasa sekular tidak dapat menggunakan pengadilan untuk
mengendalikan para pastor. Mereka juga berupaya untuk mewujudkan kehidupan
selibat yang sejati.[4]
Usaha mereka itu berjalan secara perlahan namun pasti. Salah satu keberhasilan
yang terjadi sepanjang masa perjuangan mereka adalah munculnya peraturan yang
mengubah cara lama pemilihan paus. Pemilihan Paus Nicholas II dilakukan oleh
para kardinal, bukan lagi oleh para penguasa sekular.
Perjuangan reformasi
ini mencapai titik puncaknya pada saat Kardinal Hildbrand pada tahun 1073 terpilih sebagai paus dengan nama
Gregorius VII. Hildbrand pergi ke Roma ketika dia masih muda yaitu ketika dia
masih berada dalam masa pembinaan di biara santa Maria all’Aventino. Dia pernah
menjadi pelayan Paus Gregorius VI. Setelah kematian Paus Gregorius VI dia
kemungkinan masuk biara Cluny. Beberapa bulan kemudian dia diminta oleh Paus
Leo IX untuk kembali menjadi pelayan paus. Sampai dengan kepemimpinan Paus
Alexander II dia masih menjadi pelayan paus dan bahkan menjadi orang yang cukup
berpengaruh.
Setelah meninggalnya
kardinal Humbert (1061), Hildbrand menjadi pemimpin reformasi yang tak terbantahkan di tingkat kepausan. Tujuan
utama dari programnya adalah untuk melawan pernikahan imam, simoni atau
penjualan jabatan dan terutama pemberian kekuasaan oleh penguasa sekular. Baginya
seorang raja atau penguasa sekular itu tidak lebih daripada orang biasa di
dalam Gereja. Mereka adalah orang Kristiani biasa sehingga mereka harus taat
pada Gereja. Gagasan ini diteruskannya ketika dia menjadi Paus Gregorius VII.
Doktrin yang terkenal
dari Paus Gregorius VII adalah Dictatus
Papae (1705). Doktrin ini mendeklarasikan bahwa paus adalah penguasa
tertinggi dari Kekristenan.[5]
Tak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki hak hukum atas otoritas
kepausan. Lebih lanjut dikatakan bahwa paus memiliki kuasa untuk memberhentikan
siapa saja bahkan raja sekalipun. Doktrin ini berisi dua puluh tujuh pernyataan
singkat. Semuanya berpusat pada kekuasaan paus. Beberapa contoh pernyataan itu:
“9. That the pope’s feet and no else’s are to be
kissed by all princes
11. That his title is unique in the world.
12. That he may depose emperors.
19. That he is to be judged by no one.
27. That he may absolve subjects from their fealty to
evil persons.”[6]
Pada Konsili Lenten (1705) Paus Gregorius juga membuat larangan yang
semakin keras pada pengangkatan uskup dan imam yang dilakukan oleh penguasa
sekular.
Doktrin-doktrin itu mendapatkan perlawanan
keras dari Kaisar Henry IV yang berasal dari Jerman. Dia mengabaikan seruan
paus tersebut. Pada tahun 1076 dia memberhentikan uskup agung Milan dan
menobatkan kandidatnya sendiri.[7]
Hal ini membangkitkan amarah Paus Gregorius VII. Kemudian Paus Gregorius VII mengekskomunikasi
Kaisar Henry IV dan melepaskannya dari sumpah setia kepada Gereja.
Sejumlah kerabat kaisar mendukung seruan paus
dan mengancam akan memberontak terhadap Kaisar Henry IV jika dirinya tidak taat
pada paus. Bahkan dikatakan bahwa dalam waktu satu tahun ia harus mendapatkan pengampunan
dari paus atau tahtanya akan dihilangkan dan seorang kaisar baru dipilih[8].
Keadaan itu terpaksa membuat Kaisar Henry IV
melakukan perjalanan panjang saat cuaca buruk bulan Januari 1076-1077. Pada
waktu itu paus sedang melakukan perjalan dari Roma ke Jerman. Pada akhir
Januari dia berhenti di kastil Canossa di Italia Utara. Di sana ia menjadi tamu
dari Matilda, seorang janda bangsawan Tuscany. Pada tanggal 25 Januari Kaisar
Henry IV tiba di Canossa dan memohon pengampunan dari paus. Selama tiga hari
dia menunggu paus memberikan pengampunan. Dengan bantuan dari Matilda dan abbas
Hugh dari Cluny dia berhasil menerima
pengampunan dari Paus Gregorius VII. [9]
Setelah
memperoleh pengampunan dari paus Kaisar Henry kembali ke Jerman. Ternyata di
Jerman telah terjadi pemilihan kaisar baru yaitu Kaisar Rudolf dari Swabia. Kaisar
Henry IV tidak terima dan terjadilah perang perebutan jabatan. Perang
dimenangkan oleh Kaisar Henry IV. Setelah itu relasinya dengan paus memburuk
lagi. Pada bulan Maret 1080 Kaisar Henry diekskomunikasi untuk kedua kalinya.[10]
Kemudian Kaisar Henry sungguh-sungguh menentang paus Gregorius. Dia berhasil
mencaplok Roma dan mengangkat Wibert dari Ravenna sebagai Paus Clement III
(1084-1100). Paus Gregorius VII mengungsi ke Normandia yang terletak di sebelah
selatan Italia. Pada tanggal 25 Maret 1085 Paus Gregorius meninggal di Salerno.
Menjelang wafatnya dia mengucapkan demikian: “Saya mencintai kebenaran dan
membenci ketidakadilan, karena itu saya rela mati di pengasingan”[11].
Seolah-olah dia mati, tetapi sebenarnya dia menang.
Sepeninggalan Paus
Gregorius VII upaya reformasi Gereja
masih terus berlanjut. Perselisihan panjang tersebut berakhir dengan dicapainya
kesepakatan bersama tahun 1122 dalam Concordat Worms. Dalam kesepakatan
tersebut, digariskan bahwa para uskup harus dipilih oleh para pastor dan disaksikan kaisar, dan bahwa uskup-uskup
tidak dinobatkan oleh kaisar meskipun tetap tunduk kepadanya. Kesepakatan ini
menjadi puncak perjuangan para paus reformis yang sudah berlangsung lama selama
setengah abad, sekaligus mengakhiri masa kegelapan bagi banyak anggota Gereja
di berbagai negara yang sebelumnya merasa ditinggalkan Gereja dan yang
menanti-nantikan munculnya pemimpin Roma yang mampu mengatasi perselisihan
dalam tubuh Gereja. Kaum reformasi Gereja berhasil menempatkan Gereja pada
posisi yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya, lebih mandiri terhadap
penguasa, dan tanpa penyelewengan.[12]
D.
Kesimpulan dan Penutup
Setelah melihat proses munculnya Reformasi
Gregorian dapat diambil kesimpulan singkat bahwa Gereja memang membutuhkan
pembaharuan atau reformasi. Dalam konteks itu Gereja telah memilih untuk berani
ambil resiko “bertentangan” dengan penguasa sekular termasuk para kaisar. Paus
berani mengklaim dirinya sebagai penguasa tertinggi Gereja dan sebagai
konsekuensinya semua pemimpin sekular termasuk kaisar yang menjadi warga Gereja
Katolik harus tunduk padanya.
Meskipun dikatakan bahwa dengan keputusan itu Paus
Gregorius VII tidak mempunyai maksud untuk menjadi angkuh tetapi dengan
motivasi rohani mendalam, tetap saja terdapat bahaya penyalahgunaan “kekuasaan”.
Hal ini pada masa berikutnya akan terjadi. Nampaknya dalam hal “kekuasaan” baik
Gereja, maupun negara-negara harus bisa membedakan. Gereja tidak bisa
mencampuri secara langsung urusan negara, demikian juga sebaliknya. Namun, yang
terjadi di dalam sejarah Gereja ini adalah bagian dari perjalanan dan usaha
Gereja untuk menghadapi masalah pada waktu itu. Saat ini seturut
perkembangannya baik Gereja maupun negara telah mampu menentukan posisinya
secara tepat dan terorganisir.
Daftar Pustaka:
Michael Collins dan Matthew A.
Price. The Story of Christianity;
Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
August Franzen. A History of The
Church, Montreal: Palm Publisher. 1949.
F. Donald Logan. A History of The
Church In The Middle Age. New York: Routledge, 2002.
[1] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity; Menelusuri Jejak
Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 106.
[2] August Franzen, A History of The Church, Montreal: Palm Publisher, 1949, hlm. 175.
[3] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity; Menelusuri Jejak
Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 106.
[4] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 106.
[5] August Franzen, A History of The Church, hlm. 180.
[6] F. Donald Logan, A History of The Church In The Middle Age, New York: Routledge,
2002. hlm. 114.
[7] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 106.
[8] August Franzen, A History of The Church, hlm.
180.
[9] F. Donald Logan, A History of The Church In The Middle Age, hlm. 114.
[10] August Franzen, A History of The Church. 181.
[11] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 107.
[12] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar