Kamis, 17 Oktober 2013

Reformasi Gregorian; Ketegangan Antara Paus dengan Kaisar



Reformasi Gregorian
A.    Pengantar
Reformasi Gregorian adalah bagian dari sejarah Gereja yang terjadi pada abad sebelas. Reformasi ini adalah bagian dari usaha Gereja pada waktu itu untuk memperbaiki kemerosotan yang terjadi di dalam tubuh Gereja. Dalam tulisan ini akan dipaparkan terlebih dahulu situasi Gereja yang metalarbelakangi munculnya reformasi Gregorian. Sebelum reformasi Gregorian muncul sebelumnya sudah muncul reformasi yang dilakukan di biara Cluny. Kemudian akan dipaparkan munculnya reformasi Gregorian yang memuncak pada masa kepemimpinan Paus Gregorius VII yang namanya digunakan sebagai nama reformasi ini. Pada masa kepemimpinan paus ini akan nampak adanya konflik Gereja dengan kekaisaran terutama dengan Henry IV. Pada bagian akhir akan dipaparkan kesimpulan dan penutup dari tulisan ini.   

B.     Situasi Gereja Yang Melatarbelakangi
B.1. Kemerosotan Gereja Barat
Munculnya reformasi Gregorian tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa Gereja Barat pada waktu itu (1040-an) mengalami kemorosotan terutama dalam kepemimpinan Gereja. Takhta kepausan lumpuh akibat korupsi yang merajalela di dalam Gereja. Kontrol terhadap tindakan penyelewengan yang melanda Gereja di seluruh Eropa tidak ada. Otoritas kepemimpinan Gereja dengan demikian melemah. Hal ini membuat sebagian besar kekuasaan dalam tubuh Gereja diambil alih oleh pra penguasa sekular.[1]
Situasi korup dan lemahnya otoritas kepemimpinan Gereja itu terjadi ketika para uskup dan abbas (pemimpin biara) berada di bawah otoritas raja dan kaisar. Para uskup dan abbas itu mengucapkan sumpah setia kepada para penguasa itu. Para penguasa itu terdorong oleh ambisi menguasai kekayaan dan tanah gereja yang begitu luas. Maka, hal ini menimbulkan munculnya gerakan-gerakan reformasi. Salah satu gerakan reformasi monastik yang penting di abad pertengahan ini terjadi di biara Cluny.

B.2. Munculnya Reformasi di Biara Cluny
            Biara ini didirikan di Burgundy pada tahun 908-910. Pendiri biara ini adalah pangeran (Duke) William dari Aquitaine. Dia sadar bahwa pda abad ke-9 telah terjadi kegagalan untuk melindungi kemerdekaan biara dari para penguasa duniawi dan spiritual. Dia menjamin kebebasan Cluny entah secara internal maupun eksternal. Semangat biara ditandai oleh ketaatan penuh kepada peraturan Benedictin, tindakan askese, keataatan mutlak pada abbas dan menaruh perhatian khusus pada ibadat liturgis. Selama tahun 909 sampai dengan 1156 Cluny tumbuh sebagai usaha religius terkuat di dalam Gereja.[2]  Banyak rahib reformis yang menjadi pengikut kepemimpinan Cluny. Mereka berpedoman bahwa paus adalah satu-satunya pelindung Gereja. Namun, sayangnya mereka tidak cukup kuat untuk mempengaruhi yang lain agar kembali kepada pola hidup menggereja yang benar.[3]
           
C.   Munculnya Reformasi Gregorian
            Reformasi ini dimulai dari jaman Paus Leo IX (1049-1054). Dia mengelilingi Italia, Perancis, dan Jerman untuk menghentikan penyelewengan dalam tubuh Gereja dan mengakhiri campur tangan penguasa sekular. Para pengganti Leo IX, khususnya Paus Stefanus X (r. 1057-1058), Nicholas II (r.1058-1061), dan Aleksander III (r.1061-1073), merancang sebuah agenda reformasi yang ambisius bagi Gereja. Tujuan mereka yang utama adalah ingin mengakhiri jual beli jabatan Gereja; para uskup dan abbas tidak lagi dipilih dan diangkat oleh penguasa sekuler, melainkan oleh pastor dan biarawan; dan para pastor tidak lagi berada di bawah hukum pengadilan sekular sehingga para penguasa sekular tidak dapat menggunakan pengadilan untuk mengendalikan para pastor. Mereka juga berupaya untuk mewujudkan kehidupan selibat yang sejati.[4] Usaha mereka itu berjalan secara perlahan namun pasti. Salah satu keberhasilan yang terjadi sepanjang masa perjuangan mereka adalah munculnya peraturan yang mengubah cara lama pemilihan paus. Pemilihan Paus Nicholas II dilakukan oleh para kardinal, bukan lagi oleh para penguasa sekular.  
            Perjuangan reformasi ini mencapai titik puncaknya pada saat Kardinal Hildbrand pada tahun  1073 terpilih sebagai paus dengan nama Gregorius VII. Hildbrand pergi ke Roma ketika dia masih muda yaitu ketika dia masih berada dalam masa pembinaan di biara santa Maria all’Aventino. Dia pernah menjadi pelayan Paus Gregorius VI. Setelah kematian Paus Gregorius VI dia kemungkinan masuk biara Cluny. Beberapa bulan kemudian dia diminta oleh Paus Leo IX untuk kembali menjadi pelayan paus. Sampai dengan kepemimpinan Paus Alexander II dia masih menjadi pelayan paus dan bahkan menjadi orang yang cukup berpengaruh.
            Setelah meninggalnya kardinal Humbert (1061), Hildbrand menjadi pemimpin reformasi  yang tak terbantahkan di tingkat kepausan. Tujuan utama dari programnya adalah untuk melawan pernikahan imam, simoni atau penjualan jabatan dan terutama pemberian kekuasaan oleh penguasa sekular. Baginya seorang raja atau penguasa sekular itu tidak lebih daripada orang biasa di dalam Gereja. Mereka adalah orang Kristiani biasa sehingga mereka harus taat pada Gereja. Gagasan ini diteruskannya ketika dia menjadi Paus Gregorius VII.
            Doktrin yang terkenal dari Paus Gregorius VII adalah Dictatus Papae (1705). Doktrin ini mendeklarasikan bahwa paus adalah penguasa tertinggi dari Kekristenan.[5] Tak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki hak hukum atas otoritas kepausan. Lebih lanjut dikatakan bahwa paus memiliki kuasa untuk memberhentikan siapa saja bahkan raja sekalipun. Doktrin ini berisi dua puluh tujuh pernyataan singkat. Semuanya berpusat pada kekuasaan paus. Beberapa contoh pernyataan itu:
“9. That the pope’s feet and no else’s are to be kissed by all princes
11. That his title is unique in the world.
12. That he may depose emperors.
19. That he is to be judged by no one.
27. That he may absolve subjects from their fealty to evil persons.”[6]

Pada Konsili Lenten (1705) Paus Gregorius juga membuat larangan yang semakin keras pada pengangkatan uskup dan imam yang dilakukan oleh penguasa sekular.
Doktrin-doktrin itu mendapatkan perlawanan keras dari Kaisar Henry IV yang berasal dari Jerman. Dia mengabaikan seruan paus tersebut. Pada tahun 1076 dia memberhentikan uskup agung Milan dan menobatkan kandidatnya sendiri.[7] Hal ini membangkitkan amarah Paus Gregorius VII.  Kemudian Paus Gregorius VII mengekskomunikasi Kaisar Henry IV dan melepaskannya dari sumpah setia kepada Gereja.
Sejumlah kerabat kaisar mendukung seruan paus dan mengancam akan memberontak terhadap Kaisar Henry IV jika dirinya tidak taat pada paus. Bahkan dikatakan bahwa dalam waktu satu tahun ia harus mendapatkan pengampunan dari paus atau tahtanya akan dihilangkan dan seorang kaisar baru dipilih[8].
Keadaan itu terpaksa membuat Kaisar Henry IV melakukan perjalanan panjang saat cuaca buruk bulan Januari 1076-1077. Pada waktu itu paus sedang melakukan perjalan dari Roma ke Jerman. Pada akhir Januari dia berhenti di kastil Canossa di Italia Utara. Di sana ia menjadi tamu dari Matilda, seorang janda bangsawan Tuscany. Pada tanggal 25 Januari Kaisar Henry IV tiba di Canossa dan memohon pengampunan dari paus. Selama tiga hari dia menunggu paus memberikan pengampunan. Dengan bantuan dari Matilda dan abbas Hugh dari Cluny  dia berhasil menerima pengampunan dari Paus Gregorius VII. [9]
 Setelah memperoleh pengampunan dari paus Kaisar Henry kembali ke Jerman. Ternyata di Jerman telah terjadi pemilihan kaisar baru yaitu Kaisar Rudolf dari Swabia. Kaisar Henry IV tidak terima dan terjadilah perang perebutan jabatan. Perang dimenangkan oleh Kaisar Henry IV. Setelah itu relasinya dengan paus memburuk lagi. Pada bulan Maret 1080 Kaisar Henry diekskomunikasi untuk kedua kalinya.[10] Kemudian Kaisar Henry sungguh-sungguh menentang paus Gregorius. Dia berhasil mencaplok Roma dan mengangkat Wibert dari Ravenna sebagai Paus Clement III (1084-1100). Paus Gregorius VII mengungsi ke Normandia yang terletak di sebelah selatan Italia. Pada tanggal 25 Maret 1085 Paus Gregorius meninggal di Salerno. Menjelang wafatnya dia mengucapkan demikian: “Saya mencintai kebenaran dan membenci ketidakadilan, karena itu saya rela mati di pengasingan”[11]. Seolah-olah dia mati, tetapi sebenarnya dia menang.
            Sepeninggalan Paus Gregorius VII upaya reformasi  Gereja masih terus berlanjut. Perselisihan panjang tersebut berakhir dengan dicapainya kesepakatan bersama tahun 1122 dalam Concordat Worms. Dalam kesepakatan tersebut, digariskan bahwa para uskup harus dipilih oleh para pastor  dan disaksikan kaisar, dan bahwa uskup-uskup tidak dinobatkan oleh kaisar meskipun tetap tunduk kepadanya. Kesepakatan ini menjadi puncak perjuangan para paus reformis yang sudah berlangsung lama selama setengah abad, sekaligus mengakhiri masa kegelapan bagi banyak anggota Gereja di berbagai negara yang sebelumnya merasa ditinggalkan Gereja dan yang menanti-nantikan munculnya pemimpin Roma yang mampu mengatasi perselisihan dalam tubuh Gereja. Kaum reformasi Gereja berhasil menempatkan Gereja pada posisi yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya, lebih mandiri terhadap penguasa, dan tanpa penyelewengan.[12]

D.      Kesimpulan dan Penutup
             Setelah melihat proses munculnya Reformasi Gregorian dapat diambil kesimpulan singkat bahwa Gereja memang membutuhkan pembaharuan atau reformasi. Dalam konteks itu Gereja telah memilih untuk berani ambil resiko “bertentangan” dengan penguasa sekular termasuk para kaisar. Paus berani mengklaim dirinya sebagai penguasa tertinggi Gereja dan sebagai konsekuensinya semua pemimpin sekular termasuk kaisar yang menjadi warga Gereja Katolik harus tunduk padanya.
Meskipun dikatakan bahwa dengan keputusan itu Paus Gregorius VII tidak mempunyai maksud untuk menjadi angkuh tetapi dengan motivasi rohani mendalam, tetap saja terdapat bahaya penyalahgunaan “kekuasaan”. Hal ini pada masa berikutnya akan terjadi. Nampaknya dalam hal “kekuasaan” baik Gereja, maupun negara-negara harus bisa membedakan. Gereja tidak bisa mencampuri secara langsung urusan negara, demikian juga sebaliknya. Namun, yang terjadi di dalam sejarah Gereja ini adalah bagian dari perjalanan dan usaha Gereja untuk menghadapi masalah pada waktu itu. Saat ini seturut perkembangannya baik Gereja maupun negara telah mampu menentukan posisinya secara tepat dan terorganisir.

Daftar Pustaka:
Michael Collins dan Matthew A. Price. The Story of Christianity; Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
August Franzen. A History of The Church, Montreal: Palm Publisher. 1949.
F. Donald Logan. A History of The Church In The Middle Age. New York: Routledge, 2002.


[1] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity; Menelusuri Jejak Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 106.
[2] August Franzen, A History of The Church, Montreal: Palm Publisher, 1949, hlm. 175.
[3] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity; Menelusuri Jejak Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 106.
[4] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 106.
[5] August Franzen, A History of The Church, hlm. 180.
[6] F. Donald Logan, A History of The Church In The Middle Age, New York: Routledge, 2002. hlm. 114.
[7] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 106.
[8] August Franzen, A History of The Church,  hlm. 180.
[9] F. Donald Logan, A History of The Church In The Middle Age,  hlm. 114.
[10] August Franzen, A History of The Church.  181.
[11] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 107.
[12] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar