Kamis, 17 Oktober 2013

Mengenal Munculnya Hidup Membiara



HIDUP MEMBIARA
1.      Unsur-unsur politik, sosial, religi, dan kultural yang merupakan konteks munculnya Hidup Bakti (consecrated life)[1]
Unsur-unsur politik, sosial, religi, dan kultural yang menjadi konteks munculnya Hidup Bakti dapat digambarkan ke dalam zaman penganiayaan terhadap jemaat Kristen dan sesudahnya, serta historisitas fenomena monakeisme.

Zaman Penganiayaan terhadap Jemaat Kristen
Munculnya gerakan hidup bakti ditandai dengan munculnya monachus. Kata monachus mengacu pada status orang-orang Kristen yang berkat dorongan dan keinginan dari diri mereka sendiri berkehendak menjadi suci dengan cara menarik diri secara radikal dari kesibukan harian atau masyarakat umum ke tempat-tempat terasing dengan kegiatan utama berdoa dan hidup matiraga yang sungguh-sungguh. Kesucian dipahami sebagai situasi terpisah dari percaturan dunia serta masyarakat umum.  
Langkah tersebut kemudian semakin didukung oleh situasi sosial-politik yang berkaitan dengan penganiayaan biadab oleh kaisar Roma, Decius pada tahun 249-251. Banyak orang Kristen di Mesir menyingkir dari kota-kota dan dusun-dusun ke wilayah padang gurun yang sunyi sepi.
Penganiayaan terhadap Jemaat Kristen itu menyebabkan orang-orang Kristen berani untuk mati demi imannya, tetapi tidak sedikit juga yang mengingkari imannya (tindakan pengingkaran iman secara sengaja itu disebut lapsi). Kemudian muncullah orang-orang yang tidak ingin melakukan tindakan lapsi dengan mengasingkan diri ke wilayah yang aman, misalnya ke padang gurun atau pegunungan. Mereka kemudian menghabiskan waktu hidup mereka dengan doa dan penitensi.

     Zaman Setelah Penganiayaan terhadap Jemaat Kristen
Berakhirnya zaman penganiayaan tidak membuat mereka yang mengisolasi diri di padang gurun kembali ke tempat tinggal semula. Mereka beranggapan bahwa padang pasir merupakan tempat yang lebih cocok untuk merengkuh hidup yang sempurna dan suci. Gagasan kesucian masih dipahami secara sama yaitu situasi terpisah dari masyarakat demi kesatuan dengan Yang Transenden.
Setelah Maklumat Constantinus Agung dan Maklumat Tessalonika, 380 oleh kaisar Teodosius banyak orang “dipaksa” bertobat ke dalam kepercayaan Kristen. Pertobatan ini tidak disertai dengan motifasi yang murni dan cita-cita luhur sehingga terjadi kemerosotan hidup moral religius, terutama semangat gereja para martir dan pengaku iman. Kenyataan itu membuat mereka yang telah mengenyam formasi di padang gurun kembali lagi ke gurun untuk mempertahankan moralitas dan semangat heroik yang tinggi. Bagi mereka orang Kristen sejati itu tidak lain adalah para martir dan par pengaku iman.

Historisitas Fenomen Monakeisme
Untuk mengetahui unsur-unsur yang menjadi konteks munculnya hidup bakti kiranya perlu diperhatikan juga mengenai hubungan dialektis antara fenomen gerakan monakeisme dengan gereja sebagai lembaga. Hubungan inilah yang berkaitan langsung dengan kemunculan hidup bakti di dalam Gereja. Kondisi sosail budaya dan situasi kompleks  yang membuat gerakan monakeisme ini muncul dalam panggung sejarah akan menunjukkan juga hal-hal yang berkaitan dengan unsure munculnya hidup bakti.
Kondisi sosial budaya pada belahan kedua abad III memperlihatkan kemerosotan peradaban hellenis, yakni ketika kebudayaan-kebudayaan kuno khususnya  di Mesir dan Suriah mengalami krisis yang berlarut-larut. Pada abad III kekaisaran Roma sedikit demi sedikit digerogoti oleh tekanan-tekanan laskar-laskar heroik [Flavius Stilicho (†408), Alaric († 410), Radagais († 406) dan wangsa Hunn yang dipimpin Senopati Atilla († 453), konflik sosial, dan disintegrasi otoritas pemerintah pusat. Telaah filosofis seakan layu dan mandek. Situasi lingkungan yang ditandai oleh kemerosotan sosio-kultural itu memunculkan gerakan yang menyandarkan diri pada inspirasi-inspirasi dari pesan-pesan baru keagamaan dan nilai-nilai universal budaya.
Gerekan hidup bakti tidak dapat dipisahkan dari eremitisme, yakni suatu bentuk kehidupan monastic yang dicirikan oleh kesendirian. Dalam hal ini kekudusan masih dimengerti sebagai sikap memisahkan diri dari hiruk-pikuk “dunia”.





2.      Pachomeus dan Antonius Mesir serta kontribusinya bagi Hidup Bakti
Pachomeus[2]
Pachomeus dikenal sebagai perancang hidup senobit. Dia lahir di Esneth (290). Dia menciptakan suatu disiplin yang baku dan berperan menjaga keteraturan dalam kelompok pertapa yang hidup bersama-sama.  Pada tahun 320 ia mendirikan komunitas senobit pertama di Tabennesi, di seberang Sungai Nil. Dia disebut sebagai Bapak Koinonia atau hidup bersama karena kepeloporannya di bidang pengaturan hidup bersama.
Mulai dari komunitas senobit di Tabennesi itulah Pachomeus menemukan pilar-pilar utama penyangga bangunan komunitas senobit ala Pakhomeus. Ada tiga pilar, yaitu biara, ketentuan umum (regula atau Anggaran Dasar), dan peranan pembesar (ketaatan terhadap pembesar). Biara berperan sebagai bingkai materiili pada komunitas di mana semua anggota tinggal bersama. Ketentuan umum mengatur jalannya roda kehidupan biara. Ada kesan kuat bahwa jasa utama kelompok senobit ala Pachomeus bagi perkembangan hidup bakti adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah menampilkan suatu Anggaran Dasar vita consecrata.
Selain  tiga pilar di atas dalam muncul juga struktur dasariah komunitas yang ciri-cirinya adalah sentralisasi otoritas serta praktek kehidupan bersama (fraternitas atau persaudaraan). Pachomeus menitikberatkan pada dimensi komuniter yaitu bahwa keselamatan tidak dipandang sebagai urusan perorangan, tetapi tanggung jawab bersama. Maka, ada praktek doa bersama, komunitas pertapa diperkenankan memiliki harta benda yang merupakan ungkapan serta jaminan dari koinonia.

Antonius Mesir[3]
Antonius dikenal sebagai bapak para rahib karena teladan hidupnya yang luar biasa. Ia adalah salah seorang dari kelompok-kelompok anakorit Mesir yang pertama. Pandangannya atas hidup, nasihat-nasihatnya serta seikap hidupnya kemudian menghasilkan suatu sekolah dan menjadi alamat bagi banyak orang untuk bergabung dengannya.
Pada usia 20 tahun untuk pertama kalinya dia menarik diri dari masyarakat ramai dan hidup dalam kesendirian sebagai jawaban atas firman Tuhan dalam Mat 19:21 yang mengatakan: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikkmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku”.
     Antonius dikenal sebagai rahib yang memiliki pengalaman keagamaan yang sangat kaya dan mendalam, bijaksana, rendah hati, pecinta keheningan dan mengabdikan diri pada kerja tangan. Maksud kerja tangan yang dilakukanya adalah agar ia tidak merepotkan orang lain atau tergantung pada belas kasih sesama. Hasil kerja tangan itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan bersedekah. Spiritualitasnya bercorak Kristosentris dan askese yang ditawarkannya adalah askese dinamis.  Antonius juga memberikan tempat istimewa pada Sabda Allah.
Dalam Life of Anthony (Vita Antonii) disampaikan dua garis pemikiran paralel Antonius. Pertama, berkenaan dengan keutamaan. Kedua, mengupayakan kesendirian agar menjadi semakin penuh. Kesendirian merupakan keadaan dasariah kehidupan Antonius. Bagi Antonius, kesendirian yang sesungguhnya  yang dibutuhkan oleh setiap rahib adalah kesendirian hati. Tema menjaga hati menjadi tema sentral  dan utama dalam semua bacaan dan traktat monastik. Askese dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai kedamaian hati.


3.      Unsur-unsur dasariah yang harus ada dalam consecrated life ( Berdasarkan pendalaman dari The Rule of St. Benedict)[4]
Dalam The Rule of St. Benedict atau Regula St. Benediktus dapat ditemukan unsur-unsur dasariah yang harus ada dalam consecrated life. Anggaran Dasar (Regula) yang dibuatnya berdampak sangat luas terutama dalam tradisi hidup membiara di dunia Barat. Benedictus sendiri menyebut Regula sebagai aturan sederhana bagi para pemula. Secara umum regula berisi suatu panduan dalam semua aspek kehidupan membiara, dari penetapan abbas sebagai pemimpin, pengaturan mazmur-mazmur untuk doa, bagaimana koreksi atas kesalahan dapat disampaikan, pengaturan pakaian, jumlah makanan dan minuman.
Di dalam Regula St. Benediktus terdapat beberapa prinsip-prinsip dasariah yang sekaligus menjadi unsur-unsur dasariah yang harus ada dalam consecrated life, yaitu kerja tangan (fisik), dan prasetia ketaatan, kemurnian, kemiskinan serta tinggal menetap di suatu tempat (stabilitas loci, maksudnya seorang rahib tidak dapat berpindah dari satu biara ke biara lain seturut keinginan hati mereka). Selain itu Benediktus juga menetapkan praktik doa bersama, yakni delapan kali sehari, membaca Alkitab dan buku-buku inspiratif lainnya.[5]
Selain mengambil dari prinsip-prinsip dasariahnya, gagasan sentral Anggaran St. Benediktus dan tiga hal yang diprofesikan oleh rahib juga dapat menjadi unsur-unsur dasariah yang harus ada di dalam consecrated life. Gagasan sentral Anggaran St. Benediktus yaitu menjadi seorang rahib berarti merendahkan diri sepenuhnya demi pengabdian kepada Allah. Sedangkan tiga hal yang diprofesikan rahib, yaitu stabilitas, conversation morum, dan ketaatan. Stabilitas itu identik dengan katekunan atau ketabahan yang melibatkan seluruh diri rahib, sekaligus mengungkapkan penyerahan hidup rahib secara total. Conversatio morum berarti sikap yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan duniawi untuk selamanya, demi mengikuti kebiasaan yang berasal dari pengikut Injil. Sedangkan ketaatan akan membentuk seorang rahib menjadi rendah hati.
Dalam konteks inilah “menjadi rahib” itu hanya terbentuk dalam pertapaan atau biara. Oleh karena itu pertapaan atau biara, bagi Benediktus merupakan sekolah, di mana seorang abbas berperan sebagai guru sedangkan para rahib sebagai murid-murid yang berkumpul untuk mendengarkannya.  


4.      Dinamika consecrated life sampai dengan akhir abad pertengahan (XIV)
Awal Abad Pertengahan[6]
Mulanya masa awal abad pertengahan dalam kesepakatan yang dipegang umum ditempatkan pada kurun waktu 476, sejak jatuhnya Kaisar Romawi yang terakhir, Romulus Agustus. Eksistensi kekaisaran telah lenyap dan kekosongan itu ditempati oleh sejumlah kerajaan ‘barbar.’ Banyak kebudayaan kuno telah lenyap, dan satu-satunya lembaga yang melestarikan beberapa daripadanya adalah Gereja. Karena itulah, bahkan di tengah kekacauan itu, Gereja menjadi lebih kuat dan lebih berpengaruh, dengan gerakan monastikisme dan kepausan memainkan peranan penting dalam prose situ.
Tokoh amat penting pada periode waktu ini adalah St. Benediktus yang mendirikan biara Monte Casino, dan dalam tahun 529 memberikan Regula (Anggaran Dasar) yang kemudian mempengaruhi perjalanan sejarah monastikisme Barat. Dalam waktu singkat, pengaruh kelompok ini menjalar ke seluruh Eropa Barat. Para Rahib berperan sebagai guru (rohani), penyalin naskah-naskah kuno, peramu obat-obatan, petani dan misionaris. Pada masa ini juga, Paus Gregorius Agung melakukan intervensi di Spanyol dengan memberikan dukungan pada usaha Raja Rekard yang mau memajukan iman Katolik. Dialah yang mengutus Agustinus Canterbury ke Inggris dan dengan demikian segera menyebarluaskan monastikisme Benediktin ke seluruh Eropa.

Puncak-puncak Sejarah Abad Pertengahan[7]
Gereja Barat membutuhkan suatu reformasi yang radikal, dan yang dalam kenyatannya berasal dari jajaran monastik. Tarekat-tarekat religius baru tampil ke permukaan. Tarekat-tarekat itu, misalnya Fransiskan dan Dominikan, yang dikenal dengan sebutan tarekat mendikantes. Mereka ini membangkitkan semangat dan karya-karya Bonaventura (Fransiskan) dan Thomas Aquinas (Dominikan).
Rasa tidak puas terhadap kekacauan Gereja, dan khususnya terhadap kehidupan moralnya, cukup kuat di beberapa lingkungan monastik. Pertapaan Cunny (909) memulai terlebih dahulu hingga kemudian dilanjutkan reformasi Cistersiensis, yang menampilkan sosok yang sangat mengagumkan, yakni Bernardus Clairvaux (1090-1153). Pada zaman Bernardus, cita-cita reformasi monastik berpengaruh sangat kuat dalam lingkungan kegerejaan pada umumnya dan kepausan pada khususnya.
Reformasi kegerejaan ini tertuang dalam program yang bertujuan pertama-tama membersihkan Gereja dari penyalahgunaan yang sudah dan begitu umum dan berurat berakar selama berabad-abad. Karena reformasi ini pertama-tama muncul di balik tembok-tembok biara, maka program reformasi di lingkungan-lingkungan kegerejaan juga diwarnai oleh ciri-ciri kebiaraan khususnya desakan kuat pada selibat terhadap para imam, kemiskinan, dan ketaatan. Patut dicatat, pada masa ini bahkan para rahib membutuhkan waktu lama untuk melakukan reformasi kepausan, dengan menghadirkan sejumlah paus reformis.
Seperti yang dikemukakan di awal, pada masa ini tarekat mendikantes muncul. Mereka bekerja di universitas-universitas. Mereka juga berperan sebagai pelopor ilmu teologi skolastik yang memuncak dalam karya-karya dalam karya Bonaventura dan Thomas Aquinas.

Akhir Abad Pertengahan[8]
Akhir Abad Pertengahan ini meliputi saat-saat kemerosotan kekuasaan kepausan, tahun 1303, sampai dengan jatuhnya ibukota kekaisaran Bisantin, Konstantinopel, pada tahun 1453. Borjuisme tumbuh menjadi sayap yang berkembang dari monarki di setiap negara. Hal ini mengakhiri feodalisme serta menandai dimulainya negara-negara modern. Akan tetapi, nasionalisme sendiri segera menjadi rintangan bagi kesatuan Gereja. Negara Eropa terlibat konflik, wabah pes hitam pun melanda benua biru.
Orang mengharapkan bahwa reformasi Gereja menghasilkan pembaruan di bidang studi. Yang lain lagi lebih banyak mengharapkan pada reformasi yang terjadi di seantero Gereja. Mereka mendapatkan lorong pengungsian dalam mistisisme, yang mengizinkan mereka mengolah kehidupan rohani dan mendekati Allah tanpa mengacuhkan Gereja yang telah korup dan tampaknya tidak sanggup melakukan reformasi. Begitulah dinamika perjalanan hidup membiara pada masa abad pertengahan dengan konteksnya serta sumbangsihnya bagi Gereja.





Daftar Pustaka:
Kristiyanto, Eddy. Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Kristiyanto, Eddy. Sahabat-Sahabat Tuhan: Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti. Yogyakarta: Kanisius, 2001.


[1] Dirangkum dari Eddy Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan: Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti,  (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 15-22 dan 26.

[2] Dirangkum dari Eddy Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan: Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti,  (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 72.
[3] Dirangkum dari Eddy Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan: Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti,  (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 63-70.
[4] Dirangkum dari Eddy Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan: Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti,  (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 125-137.
[5] Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 59.
[6] Dirangkum dari: Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 58-66.
[7] Dirangkum dari: Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 67-77.
[8] Dirangkum dari: Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 79-88.

Reformasi Gregorian; Ketegangan Antara Paus dengan Kaisar



Reformasi Gregorian
A.    Pengantar
Reformasi Gregorian adalah bagian dari sejarah Gereja yang terjadi pada abad sebelas. Reformasi ini adalah bagian dari usaha Gereja pada waktu itu untuk memperbaiki kemerosotan yang terjadi di dalam tubuh Gereja. Dalam tulisan ini akan dipaparkan terlebih dahulu situasi Gereja yang metalarbelakangi munculnya reformasi Gregorian. Sebelum reformasi Gregorian muncul sebelumnya sudah muncul reformasi yang dilakukan di biara Cluny. Kemudian akan dipaparkan munculnya reformasi Gregorian yang memuncak pada masa kepemimpinan Paus Gregorius VII yang namanya digunakan sebagai nama reformasi ini. Pada masa kepemimpinan paus ini akan nampak adanya konflik Gereja dengan kekaisaran terutama dengan Henry IV. Pada bagian akhir akan dipaparkan kesimpulan dan penutup dari tulisan ini.   

B.     Situasi Gereja Yang Melatarbelakangi
B.1. Kemerosotan Gereja Barat
Munculnya reformasi Gregorian tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa Gereja Barat pada waktu itu (1040-an) mengalami kemorosotan terutama dalam kepemimpinan Gereja. Takhta kepausan lumpuh akibat korupsi yang merajalela di dalam Gereja. Kontrol terhadap tindakan penyelewengan yang melanda Gereja di seluruh Eropa tidak ada. Otoritas kepemimpinan Gereja dengan demikian melemah. Hal ini membuat sebagian besar kekuasaan dalam tubuh Gereja diambil alih oleh pra penguasa sekular.[1]
Situasi korup dan lemahnya otoritas kepemimpinan Gereja itu terjadi ketika para uskup dan abbas (pemimpin biara) berada di bawah otoritas raja dan kaisar. Para uskup dan abbas itu mengucapkan sumpah setia kepada para penguasa itu. Para penguasa itu terdorong oleh ambisi menguasai kekayaan dan tanah gereja yang begitu luas. Maka, hal ini menimbulkan munculnya gerakan-gerakan reformasi. Salah satu gerakan reformasi monastik yang penting di abad pertengahan ini terjadi di biara Cluny.

B.2. Munculnya Reformasi di Biara Cluny
            Biara ini didirikan di Burgundy pada tahun 908-910. Pendiri biara ini adalah pangeran (Duke) William dari Aquitaine. Dia sadar bahwa pda abad ke-9 telah terjadi kegagalan untuk melindungi kemerdekaan biara dari para penguasa duniawi dan spiritual. Dia menjamin kebebasan Cluny entah secara internal maupun eksternal. Semangat biara ditandai oleh ketaatan penuh kepada peraturan Benedictin, tindakan askese, keataatan mutlak pada abbas dan menaruh perhatian khusus pada ibadat liturgis. Selama tahun 909 sampai dengan 1156 Cluny tumbuh sebagai usaha religius terkuat di dalam Gereja.[2]  Banyak rahib reformis yang menjadi pengikut kepemimpinan Cluny. Mereka berpedoman bahwa paus adalah satu-satunya pelindung Gereja. Namun, sayangnya mereka tidak cukup kuat untuk mempengaruhi yang lain agar kembali kepada pola hidup menggereja yang benar.[3]
           
C.   Munculnya Reformasi Gregorian
            Reformasi ini dimulai dari jaman Paus Leo IX (1049-1054). Dia mengelilingi Italia, Perancis, dan Jerman untuk menghentikan penyelewengan dalam tubuh Gereja dan mengakhiri campur tangan penguasa sekular. Para pengganti Leo IX, khususnya Paus Stefanus X (r. 1057-1058), Nicholas II (r.1058-1061), dan Aleksander III (r.1061-1073), merancang sebuah agenda reformasi yang ambisius bagi Gereja. Tujuan mereka yang utama adalah ingin mengakhiri jual beli jabatan Gereja; para uskup dan abbas tidak lagi dipilih dan diangkat oleh penguasa sekuler, melainkan oleh pastor dan biarawan; dan para pastor tidak lagi berada di bawah hukum pengadilan sekular sehingga para penguasa sekular tidak dapat menggunakan pengadilan untuk mengendalikan para pastor. Mereka juga berupaya untuk mewujudkan kehidupan selibat yang sejati.[4] Usaha mereka itu berjalan secara perlahan namun pasti. Salah satu keberhasilan yang terjadi sepanjang masa perjuangan mereka adalah munculnya peraturan yang mengubah cara lama pemilihan paus. Pemilihan Paus Nicholas II dilakukan oleh para kardinal, bukan lagi oleh para penguasa sekular.  
            Perjuangan reformasi ini mencapai titik puncaknya pada saat Kardinal Hildbrand pada tahun  1073 terpilih sebagai paus dengan nama Gregorius VII. Hildbrand pergi ke Roma ketika dia masih muda yaitu ketika dia masih berada dalam masa pembinaan di biara santa Maria all’Aventino. Dia pernah menjadi pelayan Paus Gregorius VI. Setelah kematian Paus Gregorius VI dia kemungkinan masuk biara Cluny. Beberapa bulan kemudian dia diminta oleh Paus Leo IX untuk kembali menjadi pelayan paus. Sampai dengan kepemimpinan Paus Alexander II dia masih menjadi pelayan paus dan bahkan menjadi orang yang cukup berpengaruh.
            Setelah meninggalnya kardinal Humbert (1061), Hildbrand menjadi pemimpin reformasi  yang tak terbantahkan di tingkat kepausan. Tujuan utama dari programnya adalah untuk melawan pernikahan imam, simoni atau penjualan jabatan dan terutama pemberian kekuasaan oleh penguasa sekular. Baginya seorang raja atau penguasa sekular itu tidak lebih daripada orang biasa di dalam Gereja. Mereka adalah orang Kristiani biasa sehingga mereka harus taat pada Gereja. Gagasan ini diteruskannya ketika dia menjadi Paus Gregorius VII.
            Doktrin yang terkenal dari Paus Gregorius VII adalah Dictatus Papae (1705). Doktrin ini mendeklarasikan bahwa paus adalah penguasa tertinggi dari Kekristenan.[5] Tak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki hak hukum atas otoritas kepausan. Lebih lanjut dikatakan bahwa paus memiliki kuasa untuk memberhentikan siapa saja bahkan raja sekalipun. Doktrin ini berisi dua puluh tujuh pernyataan singkat. Semuanya berpusat pada kekuasaan paus. Beberapa contoh pernyataan itu:
“9. That the pope’s feet and no else’s are to be kissed by all princes
11. That his title is unique in the world.
12. That he may depose emperors.
19. That he is to be judged by no one.
27. That he may absolve subjects from their fealty to evil persons.”[6]

Pada Konsili Lenten (1705) Paus Gregorius juga membuat larangan yang semakin keras pada pengangkatan uskup dan imam yang dilakukan oleh penguasa sekular.
Doktrin-doktrin itu mendapatkan perlawanan keras dari Kaisar Henry IV yang berasal dari Jerman. Dia mengabaikan seruan paus tersebut. Pada tahun 1076 dia memberhentikan uskup agung Milan dan menobatkan kandidatnya sendiri.[7] Hal ini membangkitkan amarah Paus Gregorius VII.  Kemudian Paus Gregorius VII mengekskomunikasi Kaisar Henry IV dan melepaskannya dari sumpah setia kepada Gereja.
Sejumlah kerabat kaisar mendukung seruan paus dan mengancam akan memberontak terhadap Kaisar Henry IV jika dirinya tidak taat pada paus. Bahkan dikatakan bahwa dalam waktu satu tahun ia harus mendapatkan pengampunan dari paus atau tahtanya akan dihilangkan dan seorang kaisar baru dipilih[8].
Keadaan itu terpaksa membuat Kaisar Henry IV melakukan perjalanan panjang saat cuaca buruk bulan Januari 1076-1077. Pada waktu itu paus sedang melakukan perjalan dari Roma ke Jerman. Pada akhir Januari dia berhenti di kastil Canossa di Italia Utara. Di sana ia menjadi tamu dari Matilda, seorang janda bangsawan Tuscany. Pada tanggal 25 Januari Kaisar Henry IV tiba di Canossa dan memohon pengampunan dari paus. Selama tiga hari dia menunggu paus memberikan pengampunan. Dengan bantuan dari Matilda dan abbas Hugh dari Cluny  dia berhasil menerima pengampunan dari Paus Gregorius VII. [9]
 Setelah memperoleh pengampunan dari paus Kaisar Henry kembali ke Jerman. Ternyata di Jerman telah terjadi pemilihan kaisar baru yaitu Kaisar Rudolf dari Swabia. Kaisar Henry IV tidak terima dan terjadilah perang perebutan jabatan. Perang dimenangkan oleh Kaisar Henry IV. Setelah itu relasinya dengan paus memburuk lagi. Pada bulan Maret 1080 Kaisar Henry diekskomunikasi untuk kedua kalinya.[10] Kemudian Kaisar Henry sungguh-sungguh menentang paus Gregorius. Dia berhasil mencaplok Roma dan mengangkat Wibert dari Ravenna sebagai Paus Clement III (1084-1100). Paus Gregorius VII mengungsi ke Normandia yang terletak di sebelah selatan Italia. Pada tanggal 25 Maret 1085 Paus Gregorius meninggal di Salerno. Menjelang wafatnya dia mengucapkan demikian: “Saya mencintai kebenaran dan membenci ketidakadilan, karena itu saya rela mati di pengasingan”[11]. Seolah-olah dia mati, tetapi sebenarnya dia menang.
            Sepeninggalan Paus Gregorius VII upaya reformasi  Gereja masih terus berlanjut. Perselisihan panjang tersebut berakhir dengan dicapainya kesepakatan bersama tahun 1122 dalam Concordat Worms. Dalam kesepakatan tersebut, digariskan bahwa para uskup harus dipilih oleh para pastor  dan disaksikan kaisar, dan bahwa uskup-uskup tidak dinobatkan oleh kaisar meskipun tetap tunduk kepadanya. Kesepakatan ini menjadi puncak perjuangan para paus reformis yang sudah berlangsung lama selama setengah abad, sekaligus mengakhiri masa kegelapan bagi banyak anggota Gereja di berbagai negara yang sebelumnya merasa ditinggalkan Gereja dan yang menanti-nantikan munculnya pemimpin Roma yang mampu mengatasi perselisihan dalam tubuh Gereja. Kaum reformasi Gereja berhasil menempatkan Gereja pada posisi yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya, lebih mandiri terhadap penguasa, dan tanpa penyelewengan.[12]

D.      Kesimpulan dan Penutup
             Setelah melihat proses munculnya Reformasi Gregorian dapat diambil kesimpulan singkat bahwa Gereja memang membutuhkan pembaharuan atau reformasi. Dalam konteks itu Gereja telah memilih untuk berani ambil resiko “bertentangan” dengan penguasa sekular termasuk para kaisar. Paus berani mengklaim dirinya sebagai penguasa tertinggi Gereja dan sebagai konsekuensinya semua pemimpin sekular termasuk kaisar yang menjadi warga Gereja Katolik harus tunduk padanya.
Meskipun dikatakan bahwa dengan keputusan itu Paus Gregorius VII tidak mempunyai maksud untuk menjadi angkuh tetapi dengan motivasi rohani mendalam, tetap saja terdapat bahaya penyalahgunaan “kekuasaan”. Hal ini pada masa berikutnya akan terjadi. Nampaknya dalam hal “kekuasaan” baik Gereja, maupun negara-negara harus bisa membedakan. Gereja tidak bisa mencampuri secara langsung urusan negara, demikian juga sebaliknya. Namun, yang terjadi di dalam sejarah Gereja ini adalah bagian dari perjalanan dan usaha Gereja untuk menghadapi masalah pada waktu itu. Saat ini seturut perkembangannya baik Gereja maupun negara telah mampu menentukan posisinya secara tepat dan terorganisir.

Daftar Pustaka:
Michael Collins dan Matthew A. Price. The Story of Christianity; Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
August Franzen. A History of The Church, Montreal: Palm Publisher. 1949.
F. Donald Logan. A History of The Church In The Middle Age. New York: Routledge, 2002.


[1] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity; Menelusuri Jejak Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 106.
[2] August Franzen, A History of The Church, Montreal: Palm Publisher, 1949, hlm. 175.
[3] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity; Menelusuri Jejak Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 106.
[4] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 106.
[5] August Franzen, A History of The Church, hlm. 180.
[6] F. Donald Logan, A History of The Church In The Middle Age, New York: Routledge, 2002. hlm. 114.
[7] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 106.
[8] August Franzen, A History of The Church,  hlm. 180.
[9] F. Donald Logan, A History of The Church In The Middle Age,  hlm. 114.
[10] August Franzen, A History of The Church.  181.
[11] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 107.
[12] Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity, hlm. 107.