HIDUP MEMBIARA
1.
Unsur-unsur
politik, sosial, religi, dan kultural yang merupakan konteks munculnya Hidup
Bakti (consecrated life)[1]
Unsur-unsur politik, sosial, religi, dan kultural
yang menjadi konteks munculnya Hidup Bakti dapat digambarkan ke dalam zaman
penganiayaan terhadap jemaat Kristen dan sesudahnya, serta historisitas
fenomena monakeisme.
Zaman Penganiayaan terhadap Jemaat
Kristen
Munculnya gerakan hidup bakti ditandai dengan
munculnya monachus. Kata monachus mengacu pada status orang-orang
Kristen yang berkat dorongan dan keinginan dari diri mereka sendiri berkehendak
menjadi suci dengan cara menarik diri secara radikal dari kesibukan harian atau
masyarakat umum ke tempat-tempat terasing dengan kegiatan utama berdoa dan
hidup matiraga yang sungguh-sungguh. Kesucian dipahami sebagai situasi terpisah
dari percaturan dunia serta masyarakat umum.
Langkah tersebut kemudian semakin didukung oleh
situasi sosial-politik yang berkaitan dengan penganiayaan biadab oleh kaisar
Roma, Decius pada tahun 249-251. Banyak
orang Kristen di Mesir menyingkir dari kota-kota dan dusun-dusun ke wilayah
padang gurun yang sunyi sepi.
Penganiayaan terhadap Jemaat Kristen itu menyebabkan
orang-orang Kristen berani untuk mati demi imannya, tetapi tidak sedikit juga
yang mengingkari imannya (tindakan pengingkaran iman secara sengaja itu disebut
lapsi). Kemudian muncullah
orang-orang yang tidak ingin melakukan tindakan lapsi dengan mengasingkan diri ke wilayah yang aman, misalnya ke
padang gurun atau pegunungan. Mereka kemudian menghabiskan waktu hidup mereka
dengan doa dan penitensi.
Zaman Setelah Penganiayaan terhadap Jemaat
Kristen
Berakhirnya
zaman penganiayaan tidak membuat mereka yang mengisolasi diri di padang gurun
kembali ke tempat tinggal semula. Mereka beranggapan bahwa padang pasir
merupakan tempat yang lebih cocok untuk merengkuh hidup yang sempurna dan suci.
Gagasan kesucian masih dipahami secara sama yaitu situasi terpisah dari
masyarakat demi kesatuan dengan Yang Transenden.
Setelah Maklumat Constantinus Agung dan Maklumat Tessalonika,
380 oleh kaisar Teodosius banyak orang “dipaksa” bertobat ke dalam kepercayaan
Kristen. Pertobatan ini tidak disertai dengan motifasi yang murni dan cita-cita
luhur sehingga terjadi kemerosotan hidup moral religius, terutama semangat
gereja para martir dan pengaku iman. Kenyataan itu membuat mereka yang telah
mengenyam formasi di padang gurun kembali lagi ke gurun untuk mempertahankan
moralitas dan semangat heroik yang tinggi. Bagi mereka orang Kristen sejati itu
tidak lain adalah para martir dan par pengaku iman.
Historisitas
Fenomen Monakeisme
Untuk mengetahui unsur-unsur yang menjadi konteks
munculnya hidup bakti kiranya perlu diperhatikan juga mengenai hubungan
dialektis antara fenomen gerakan monakeisme
dengan gereja sebagai lembaga. Hubungan inilah yang berkaitan langsung dengan
kemunculan hidup bakti di dalam Gereja. Kondisi sosail budaya dan situasi
kompleks yang membuat gerakan monakeisme ini muncul dalam panggung
sejarah akan menunjukkan juga hal-hal yang berkaitan dengan unsure munculnya
hidup bakti.
Kondisi sosial budaya pada belahan kedua abad III
memperlihatkan kemerosotan peradaban hellenis,
yakni ketika kebudayaan-kebudayaan kuno khususnya di Mesir dan Suriah mengalami krisis yang
berlarut-larut. Pada abad III kekaisaran Roma sedikit demi sedikit digerogoti
oleh tekanan-tekanan laskar-laskar heroik [Flavius Stilicho (†408), Alaric (†
410), Radagais († 406) dan wangsa Hunn yang dipimpin Senopati Atilla († 453), konflik sosial, dan
disintegrasi otoritas pemerintah pusat. Telaah filosofis seakan layu dan mandek. Situasi lingkungan yang ditandai
oleh kemerosotan sosio-kultural itu memunculkan gerakan yang menyandarkan diri
pada inspirasi-inspirasi dari pesan-pesan baru keagamaan dan nilai-nilai
universal budaya.
Gerekan hidup bakti tidak dapat dipisahkan dari eremitisme, yakni suatu bentuk kehidupan
monastic yang dicirikan oleh kesendirian. Dalam hal ini kekudusan masih
dimengerti sebagai sikap memisahkan diri dari hiruk-pikuk “dunia”.
2.
Pachomeus
dan Antonius Mesir serta kontribusinya bagi Hidup Bakti
Pachomeus[2]
Pachomeus dikenal sebagai perancang hidup senobit. Dia
lahir di Esneth (290). Dia menciptakan suatu disiplin yang baku dan berperan
menjaga keteraturan dalam kelompok pertapa yang hidup bersama-sama. Pada tahun 320 ia mendirikan komunitas senobit
pertama di Tabennesi, di seberang Sungai Nil. Dia disebut sebagai Bapak Koinonia atau hidup bersama karena
kepeloporannya di bidang pengaturan hidup bersama.
Mulai dari komunitas senobit di Tabennesi itulah
Pachomeus menemukan pilar-pilar utama penyangga bangunan komunitas senobit ala
Pakhomeus. Ada tiga pilar, yaitu biara, ketentuan umum (regula atau Anggaran Dasar), dan peranan pembesar (ketaatan terhadap
pembesar). Biara berperan sebagai bingkai materiili pada komunitas di mana
semua anggota tinggal bersama. Ketentuan umum mengatur jalannya roda kehidupan
biara. Ada kesan kuat bahwa jasa utama kelompok senobit ala Pachomeus bagi
perkembangan hidup bakti adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah menampilkan
suatu Anggaran Dasar vita consecrata.
Selain tiga
pilar di atas dalam muncul juga struktur dasariah komunitas yang ciri-cirinya
adalah sentralisasi otoritas serta praktek kehidupan bersama (fraternitas atau persaudaraan). Pachomeus
menitikberatkan pada dimensi komuniter yaitu bahwa keselamatan tidak dipandang
sebagai urusan perorangan, tetapi tanggung jawab bersama. Maka, ada praktek doa
bersama, komunitas pertapa diperkenankan memiliki harta benda yang merupakan
ungkapan serta jaminan dari koinonia.
Antonius
Mesir[3]
Antonius dikenal sebagai bapak para rahib karena
teladan hidupnya yang luar biasa. Ia adalah salah seorang dari
kelompok-kelompok anakorit Mesir yang
pertama. Pandangannya atas hidup, nasihat-nasihatnya serta seikap hidupnya
kemudian menghasilkan suatu sekolah dan menjadi alamat bagi banyak orang untuk
bergabung dengannya.
Pada usia 20 tahun untuk pertama kalinya dia menarik
diri dari masyarakat ramai dan hidup dalam kesendirian sebagai jawaban atas
firman Tuhan dalam Mat 19:21 yang mengatakan: “Jikalau engkau hendak sempurna,
pergilah, juallah segala milikkmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,
maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah
Aku”.
Antonius
dikenal sebagai rahib yang memiliki pengalaman keagamaan yang sangat kaya dan
mendalam, bijaksana, rendah hati, pecinta keheningan dan mengabdikan diri pada
kerja tangan. Maksud kerja tangan yang dilakukanya adalah agar ia tidak
merepotkan orang lain atau tergantung pada belas kasih sesama. Hasil kerja
tangan itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan bersedekah. Spiritualitasnya
bercorak Kristosentris dan askese yang ditawarkannya adalah askese dinamis. Antonius juga memberikan tempat istimewa pada
Sabda Allah.
Dalam Life of
Anthony (Vita Antonii)
disampaikan dua garis pemikiran paralel Antonius. Pertama, berkenaan dengan keutamaan.
Kedua, mengupayakan kesendirian agar menjadi semakin penuh. Kesendirian
merupakan keadaan dasariah kehidupan Antonius. Bagi Antonius, kesendirian yang
sesungguhnya yang dibutuhkan oleh setiap
rahib adalah kesendirian hati. Tema menjaga hati menjadi tema sentral dan utama dalam semua bacaan dan traktat
monastik. Askese dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai kedamaian hati.
3.
Unsur-unsur
dasariah yang harus ada dalam consecrated
life ( Berdasarkan pendalaman dari The
Rule of St. Benedict)[4]
Dalam The Rule
of St. Benedict atau Regula St.
Benediktus dapat ditemukan unsur-unsur dasariah yang harus ada dalam consecrated life. Anggaran Dasar (Regula) yang dibuatnya berdampak sangat
luas terutama dalam tradisi hidup membiara di dunia Barat. Benedictus sendiri
menyebut Regula sebagai aturan
sederhana bagi para pemula. Secara umum regula berisi suatu panduan dalam semua
aspek kehidupan membiara, dari penetapan abbas
sebagai pemimpin, pengaturan mazmur-mazmur untuk doa, bagaimana koreksi atas kesalahan
dapat disampaikan, pengaturan pakaian, jumlah makanan dan minuman.
Di dalam Regula St. Benediktus terdapat beberapa
prinsip-prinsip dasariah yang sekaligus menjadi unsur-unsur dasariah yang harus
ada dalam consecrated life, yaitu
kerja tangan (fisik), dan prasetia ketaatan, kemurnian, kemiskinan serta
tinggal menetap di suatu tempat (stabilitas
loci, maksudnya seorang rahib tidak dapat berpindah dari satu biara ke
biara lain seturut keinginan hati mereka). Selain itu Benediktus juga menetapkan
praktik doa bersama, yakni delapan kali sehari, membaca Alkitab dan buku-buku
inspiratif lainnya.[5]
Selain mengambil dari prinsip-prinsip dasariahnya,
gagasan sentral Anggaran St. Benediktus dan tiga hal yang diprofesikan oleh
rahib juga dapat menjadi unsur-unsur dasariah yang harus ada di dalam consecrated life. Gagasan sentral
Anggaran St. Benediktus yaitu menjadi seorang rahib berarti merendahkan diri
sepenuhnya demi pengabdian kepada Allah. Sedangkan tiga hal yang diprofesikan
rahib, yaitu stabilitas, conversation
morum, dan ketaatan. Stabilitas itu identik dengan katekunan atau ketabahan
yang melibatkan seluruh diri rahib, sekaligus mengungkapkan penyerahan hidup
rahib secara total. Conversatio morum
berarti sikap yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan duniawi untuk selamanya, demi
mengikuti kebiasaan yang berasal dari pengikut Injil. Sedangkan ketaatan akan
membentuk seorang rahib menjadi rendah hati.
Dalam konteks inilah “menjadi rahib” itu hanya
terbentuk dalam pertapaan atau biara. Oleh karena itu pertapaan atau biara,
bagi Benediktus merupakan sekolah, di mana seorang abbas berperan sebagai guru
sedangkan para rahib sebagai murid-murid yang berkumpul untuk mendengarkannya.
4.
Dinamika
consecrated life sampai dengan akhir
abad pertengahan (XIV)
Awal Abad Pertengahan[6]
Mulanya masa awal abad pertengahan dalam kesepakatan
yang dipegang umum ditempatkan pada kurun waktu 476, sejak jatuhnya Kaisar
Romawi yang terakhir, Romulus Agustus. Eksistensi kekaisaran telah lenyap dan
kekosongan itu ditempati oleh sejumlah kerajaan ‘barbar.’ Banyak kebudayaan
kuno telah lenyap, dan satu-satunya lembaga yang melestarikan beberapa
daripadanya adalah Gereja. Karena itulah, bahkan di tengah kekacauan itu,
Gereja menjadi lebih kuat dan lebih berpengaruh, dengan gerakan monastikisme dan kepausan memainkan
peranan penting dalam prose situ.
Tokoh amat penting pada periode waktu ini adalah St.
Benediktus yang mendirikan biara Monte
Casino, dan dalam tahun 529 memberikan Regula
(Anggaran Dasar) yang kemudian mempengaruhi perjalanan sejarah monastikisme Barat. Dalam waktu singkat,
pengaruh kelompok ini menjalar ke seluruh Eropa Barat. Para Rahib berperan
sebagai guru (rohani), penyalin naskah-naskah kuno, peramu obat-obatan, petani
dan misionaris. Pada masa ini juga, Paus Gregorius Agung melakukan intervensi
di Spanyol dengan memberikan dukungan pada usaha Raja Rekard yang mau memajukan
iman Katolik. Dialah yang mengutus Agustinus Canterbury ke Inggris dan dengan
demikian segera menyebarluaskan monastikisme Benediktin ke seluruh Eropa.
Puncak-puncak Sejarah Abad
Pertengahan[7]
Gereja Barat membutuhkan suatu reformasi yang
radikal, dan yang dalam kenyatannya berasal dari jajaran monastik. Tarekat-tarekat
religius baru tampil ke permukaan. Tarekat-tarekat itu, misalnya Fransiskan dan
Dominikan, yang dikenal dengan sebutan tarekat mendikantes. Mereka ini membangkitkan semangat dan karya-karya
Bonaventura (Fransiskan) dan Thomas Aquinas (Dominikan).
Rasa tidak puas terhadap kekacauan Gereja, dan
khususnya terhadap kehidupan moralnya, cukup kuat di beberapa lingkungan monastik. Pertapaan Cunny (909) memulai terlebih dahulu hingga kemudian dilanjutkan
reformasi Cistersiensis, yang
menampilkan sosok yang sangat mengagumkan, yakni Bernardus Clairvaux
(1090-1153). Pada zaman Bernardus, cita-cita reformasi monastik berpengaruh
sangat kuat dalam lingkungan kegerejaan pada umumnya dan kepausan pada
khususnya.
Reformasi kegerejaan ini tertuang dalam program yang
bertujuan pertama-tama membersihkan Gereja dari penyalahgunaan yang sudah dan
begitu umum dan berurat berakar selama berabad-abad. Karena reformasi ini
pertama-tama muncul di balik tembok-tembok biara, maka program reformasi di
lingkungan-lingkungan kegerejaan juga diwarnai oleh ciri-ciri kebiaraan
khususnya desakan kuat pada selibat terhadap para imam, kemiskinan, dan
ketaatan. Patut dicatat, pada masa ini bahkan para rahib membutuhkan waktu lama
untuk melakukan reformasi kepausan, dengan menghadirkan sejumlah paus reformis.
Seperti yang dikemukakan di awal, pada masa ini
tarekat mendikantes muncul. Mereka
bekerja di universitas-universitas. Mereka juga berperan sebagai pelopor ilmu
teologi skolastik yang memuncak dalam karya-karya dalam karya Bonaventura dan
Thomas Aquinas.
Akhir Abad Pertengahan[8]
Akhir Abad Pertengahan ini meliputi saat-saat
kemerosotan kekuasaan kepausan, tahun 1303, sampai dengan jatuhnya ibukota
kekaisaran Bisantin, Konstantinopel, pada tahun 1453. Borjuisme tumbuh menjadi sayap yang berkembang dari monarki di
setiap negara. Hal ini mengakhiri feodalisme serta menandai dimulainya
negara-negara modern. Akan tetapi, nasionalisme sendiri segera menjadi
rintangan bagi kesatuan Gereja. Negara Eropa terlibat konflik, wabah pes hitam
pun melanda benua biru.
Orang
mengharapkan bahwa reformasi Gereja menghasilkan pembaruan di bidang studi.
Yang lain lagi lebih banyak mengharapkan pada reformasi yang terjadi di
seantero Gereja. Mereka mendapatkan lorong pengungsian dalam mistisisme, yang
mengizinkan mereka mengolah kehidupan rohani dan mendekati Allah tanpa mengacuhkan
Gereja yang telah korup dan tampaknya tidak sanggup melakukan reformasi.
Begitulah dinamika perjalanan hidup membiara pada masa abad pertengahan dengan
konteksnya serta sumbangsihnya bagi Gereja.
Daftar Pustaka:
Kristiyanto, Eddy. Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Kristiyanto, Eddy. Sahabat-Sahabat Tuhan: Asal-usal dan
perkembangan awal Hidup Bakti. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
[1] Dirangkum dari Eddy
Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan:
Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 15-22 dan
26.
[2] Dirangkum dari Eddy
Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan:
Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 72.
[3] Dirangkum dari Eddy
Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan:
Asal-usal dan perkembangan awal Hidup Bakti, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 63-70.
[4] Dirangkum dari Eddy
Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan: Asal-usal
dan perkembangan awal Hidup Bakti, (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 125-137.
[5] Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), hlm. 59.
[6] Dirangkum dari:
Eddy Kristiyanto, Visi Historis
Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 58-66.
[7] Dirangkum dari:
Eddy Kristiyanto, Visi Historis
Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 67-77.
[8] Dirangkum dari:
Eddy Kristiyanto, Visi Historis
Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 79-88.